Blogger templates

Selasa, 24 April 2012

BENTUK TES DALAM EVALUASI PEMBELAJARAN


BENTUK TES DALAM EVALUASI PEMBELAJARAN

(RESUMAN SPBA. Q "Ius Kwangend Icha)
Evaluasi merupakan suatu proses. Sebagai suatu proses, evaluasi perlu dilanjutkan dengan tindakan. Evaluasi dilakukan untuk meningkatkan kemampuan siswa, sebagai alat untuk memperbaiki proses belajar mengajar. Dengan demikian informasi yang diperlukan berdasar pengukuran kuantitatif, yaitu dalam bentuk 10 tes. Beberapa bentuk tes yang dapat digunakan adalah dengan tes pilihan ganda dan esai.
A.    Tes Pilihan Ganda
Dalam Journal of Educational Enquiry disebutkan Multiple-choice questions are an efficient means of knowledge assessment (particularly in well defined subjects that do not change with time. They are a widely used assessment ). Artinya yakni beberapa pertanyaan pilihan merupakan sarana yang efisien dalam penilaian (Khususnya untuk mata pelajaran yang tidak berubah dengan waktu). Bentuk tes pilihan ganda banyak digunakan dalam metodologi penilaian. Dan dalam jurnal internasional yang lain disebutkan A conventional multiple-choice test is one of the most widely used assessment methods. When faced with a question in a conventional multiplechoice test, a candidate must evaluate each option and choose the most (Annie W.Y. Ng dan Alan H.S. Chan, 2009: 1). Artinya yakni tes pilihan ganda konvensional adalah salah satu bentuk tes yang paling banyak digunakan metode penilaian. Ketika seorang siswa diberi pertanyaan dalam bentuk tes pilihan ganda konvensional, seorang siswa harus mengevaluasi setiap pilihan dan memilih salah satu yang paling sesuai.
a.       Adapun kelebihan bentuk tes pilihan ganda yaitu:
1) Dapat digunakan untuk mengukur semua jenjang kemampuan berfikir dalam ranah kognitif
2) Memperkecil kemungkinan menebak benar kunci jawaban
3) Dapat dibuat menjadi banyak ragam/variasi bentuk, yakni:
a) Variasi jawaban yang benar
b) Variasi jawaban yang paling banyak
c) Variasi banyak jawaban
d) Variasi pernyataan tidak lengkap
e) Variasi negatif
f) Variasi pengganti
g) Variasi alternatif yang tidak lengkap
h) Variasi jawaban terpadu.
4) Jawabannya tidak harus mutlak benar, tetapi dapat berupa jawaban yang paling benar, atau dapat pula mengandung jawaban yang semuanya benar
5) Dapat digunakan pada semua jenjang sekolah dan kelas
6) Dapat diskor dengan sangat obyektif
7) Dapat diskor dengan mudah dan cepat
8) Ruang lingkup bahan yang ditanyakan sangat luas. (Suke Silverius, 1991:67-68)
Betapapun unggulnya bentuk pilihan ganda dibandingkan bentuk-bentuk tes yang lain, bentuk tes pilihan ganda tidak luput dari kelemahan.
b.      Adapun kelemahan dari bentuk tes pilihan ganda yaitu:
1) Pokok soal tidak cepat cukup jelas sehingga terdapat kemungkinan ada lebih dari satu jawaban yang benar
2) Kadang-kadang jawaban soal dapat diketahui siswa meskipun belum diajarkan karena adanya petunjuk jawaban yang benar, atau karena butir soal itu mengukur sikap dan bukan mengukur pengetahuan
3) Sampai suatu tingkat tertentu keberhasilan atas suatu jawaban dapat diperoleh melalui tebakan
4) Sulit membuat pengecoh (distraktor) yang berfungsi, yakni yang mempunyai peluang besar untuk dipilih siswa
5) Membutuhkan waktu yang lama untuk menulis soal-soalnya
6) Siswa cenderung mengembangkan cara belajar terpisah-pisah menurut bunyi tiap soal.
(Suke Silverius, 1991:68-69)
Dalam evaluasi hasil belajar, bentuk tes pilihan ganda lebih banyak dipakai dibandingkan bentuk tes yang lain karena bentuk tes pilihan ganda bebas dari kelemahan bentuk-bentuk tes yang lain.

B.     Tes esai
Jenis tes ini (disebut juga tes uraian) menuntut kemampuan siswa untuk mengemukakan, menyusun, dan memadukan gagasan yang telah dimilikinya dengan menggunakan kata-katanya sendiri. Tes jenis ini memungkinkan siswa menjawab pertanyaan secara bebas.
Tes uraian (essay tes), yang sering juga dikenal dengan istilah tes subyektif, adalah salah satu jenis tes hasil belajar yang memiliki karakteristik sebagaimana dikemukakan berikut ini.
1) Tes tersebut berbentuk pertanyaan atau perintah yang menghendaki jawaban berupa uraian atau paparan kalimat yang pada umumnya cukup panjang.
2) Bentuk-bentuk pertanyaan atau perintah itu menuntut kepada testee untuk memberikan penjelasan, komentar, penafsiran, membandingkan, membedakan, dan sebagainya.
3) Ketiga, jumlah butir soalnya umumnya terbatas, yaitu berkisar antara lima sampai dengan sepuluh butir.
4) Keempat, pada umumnya butir-butir soal tersebut diawali dengan katakata: jelaskan, mengapa, bagaimana, atau kata-kata lain yang serupa dengan itu. (Anas Sudijono, 2008: 100)
Beberapa keunggulan dan kelemahan dari tes bentuk esai diantaranya yaitu:
·         Keunggulan:
1)    Memungkinkan siswa menjawab pertanyaan tes secara bebas
2)  Memberi kesempatan kepada siswa untuk meningkatkan kemampuannyabdalam hal menulis, mengutarakan ide-ide atau jalan pikirannya secara terorganisir, berpikir kreatif dan kritis
3)    Merupakan tes terbaik untuk mengukur kemampuan siswa mengemukakan pandangan dalam bentuk tulisan
4) Merupakan tes terbaik untuk mengukur kemampuan siswa menjelaskan, membandingkan, merangkumkan, membedakan, menggambarkan dan mengevaluasi suatu topik atau pokok bahasan.
5)  Relatif lebih mudah menyusun pertanyaannya dibandingkan dengan tes bentuk obyektif
6)    Sangat memperkecil kemungkinan siswa menebak jawaban yang benar
7)       Dapat menggalakkan siswa untuk mempelajari secara luas konsepkonsep dan generalisasi yang berkaitan dengan topic pembahasan/pengajaran
·         Kelemahan:
1) Sukar diskor secara benar-benar obyektif, walaupun itu tes yang
dikualifikasi sebagai tes uraian obyektif sekalipun
2) Membutuhkan waktu yang lama untuk menjawab pertanyaan
3) Jumlah pokok bahasan/subpokok bahasan yang dapat diambil sebagai sumber pertanyaaan sangat terbatas
4) Membutuhkan waktu yang jauh lebih lama bagi guru untuk membaca dan menilai semua jawaban siswa
5) Sering terbuka untuk hallo effect yang berupa kecenderungan untuk memberi nilai tinggi bagi siswa yang dianggap/dinilai mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan teman sekelasnya. (Suke Silverius, 1991:63-65)
Tes hasil belajar bentuk esai sebagai salah satu alat pengukur hasil belajar, tepat digunakan apabila pembuat soal disamping ingin mengungkap daya ingat dan pemahaman siswa terhadap materi pelajaran yang ditanyakan dalam tes, juga dikehendaki untuk mengungkap kemampuan siswa dalam memahami berbagai macam konsep berikut aplikasinya.selain itu tes esai juga lebih tepat dipergunakan apabila jumlah siswa terbatas.

Senin, 23 April 2012

PERBEDAAN MAKNA KATA-KATABAHASA INDONESIA SERAPAN BAHASA ARAB DARI MAKNA SUMBERNYA

PERBEDAAN MAKNA KATA-KATABAHASA INDONESIA
SERAPAN BAHASA ARAB DARI MAKNA SUMBERNYA

oleh Tadkiroatun Musfiroh
FBS Universitas Negeri Yogyakarta
Abstact
Issues dealing with Indonesian loan words from Arabic at
least can be explored from three main aspects, namely, phonology,
morphology,and semantics. This article, however,only focuseson a
semantic aspect, specifying the differences in meaning between
Indonesian loan words from Arabic and their originals. There were
400 Indonesian loan words treated as data, which were borrowed
from Arabic. Eighty of them were found to have differences in
meaning compared to the Arabic original forms. Based on the
analysis, three types of the meaning differenceswere identified. The
first type, involving 18 loan words, was a widening process due to
the formation of new concepts. The second type, involving 30 loan
words, was a narrowing process because of patterns ofhyponyms or
choices of homonyms. The remaining 32 loan words indicated that
they changed totally in meaning fromtheir Arabicoriginals.
Key Words: Arabic, loan words, narrowing, semantics, widening
A. Pendahuluan
Permasalahan penyerapan kata-kata bahasa Indonesia dari
bahasa Arab, setidak-tidaknya meliputi tiga hal, yakni permasalahan
fonologi, morfologi, dan semantik. Permasalahan fonologi terjadi
karena proses penyesuaian fonem dari bahasa Arab ke dalam bahasa
Indonesia terhambat oleh khasanah fonemyang berbeda. Permasalahan
ini dikaji oleh Sudamo tahoo 1992 dalam bukunya Kata Serapan dari
BahasaArab.
Permasalahan yang kedua adalah permasalahan morfologi.
Permasalahan ini terjadi karena proses pengambilan atau penyerapan
kata-kata bahasa Indonesia dari bahasa Arab, umumnya tidak
38
39
memperhatikan jenis dan kata asalnya. Kata yang dalam bahasa Arab
berkelas nomina, misalnya sami'a. setelah diserap ke dalam bahasa
Indonesia menjadi simak berkelas verba. Selain itu, kata-kata yang
diserap dari berbagai jenis dan kelas kata tersebut diperlakukan sebagai
morfem dasar, sehingga mengalami proses morfologis untuk
membentuk makna yang diinginkan. Permasalahan tersebut dikaji oleh
Ma'nawi (1997) dalam tesisnya Pembentukan Verbadan Nomina dalam
Bahasa Indonesia:Kajian Morfologis Unsur Pinjaman Bahasa
Indonesia
Permasalahan ketiga adalah permasalahan semantik.
Permasalahan ini, terutama, berkaitan dengan masalah perbedaan makna
yang disebabkan oleh faktor kebahasaan dan non-kebahasaan. Faktor
kebahasaan merupakan gejala alamiah bahasa, yakni bahasa secara
diakronis, terutama lintas bahasa, mungkin sekali terjadi perubahan
bahasa, termasuk perubahan makna kata. Kata seperti alim merupakan
contoh. Kata 'alim dalam bahasa Arab berarti 'menguasai, yang
mengetahui', dan dalam bahasa Indonesia kata alim memiliki makna
pendiam, tenang, tidak banyak bicara. Dalam bahasa Arab, kata yang
memiliki makna pendiam adalah kata assaakita. Pemaksaan
penggunaan kata alim makna pendiam dalam bahasa Arab, menjadikan
kalimatyang dihasilkantidak berterima.
(1)[ JA~ rJWi\J I t~ ]
Badii annal 'iilimajahilun 'temyata orang yang pintar itu
bodoh'(?)
Tidak sedikit kata bahasa Indonesia serapan yang memiliki
perbedaan makna dengan makna kata sumbemya seperti contoh kalimat
di atas. Sayangnya, fenomena linguistik tersebut belum memperoleh
cukup perhatian. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian terhadapnya.
Untuk itu, perlu diperolehjawaban (1) wujud perbedaaan makna kata
yang terdapat dalam kata-kata bahasa Indonesia serapan bahasa Arab
dari makna sumbemya, dan (2) pola yang mendasari perbedaan makna
kata-kata tersebut.
Perbedaan Makna Kata-kata Bahasa Indonesia (Tadkhiroatun M.)
40
B. Kata Serapan
Kata serapan digunakan oleh Sudamo (1990) untuk makna
pinjaman yang digunakan oleh Kridalaksana (1988). Jones
menyebutnya sebagai loan wordsatau kata-kata pinjaman. Istilah-istilah
tersebut digunakan untuk menyebut kosakata suatu bahasa yang bukan'
kosakata asli. Kosakata serapan merupakan kosakata yang diambiV
diserap dari satu bahasa donor dengan penyesuaian kaidah yang ada
dalambahasa penyerap.
Bukanlah suatu hal yang mudah untuk menentukan maka katakata
bahasa Indonesia yang merupakan unsur serapan dan mana yang
merupakan unsur asli. Apabila unsur serapan yang ada masih utuh,
mungkin tidak terlalu menyulitkan. Apabila unsur serapan tersebut
telah mengalami perubahan bentuk, diperlukan kerja tersendiri untuk
mengidentifikasinya. Sebuah kata atau istilah yang merupakan unsur
serapan akan sulit dilacak kembali karena beberapa faktor, yaitu :
(1) Terlalu banyak mengalami perubahan struktur sehingga sulit
untuk mencari identitasnya;
(2) Frekuensi pemakaiannya sangat tinggi sehingga tidak dirasakan
lagi sebagai unsur serapan;
(3) Bentuk kata atau istilah serapan itu ada dalam dua bahasa yang
berbeda (Eddy,1989:23).
Proses penyerapan kata-kata bahasa Indonesia dari bahasa Arab
umumnya (1) tidak memperhatikanjenis kata asalnya; (2) dapat berupa
kata per kata secara utuh, dan ada pula yang digabung dengan kata lain
dari bahasa penutur; (3) dianggap sebagai bentuk dasar walaupun dalam
bahasa asalnya sudah mengalami derivasi yang berupa kata jadian; dan
(4) unsur-unsur tersebut terintegrasi, tetap berlaku kaidah-kaidah bahasa
Indonesia, baik mengenai perubahan bentuk dan maknanya, maupun
proses pembentukan katanya. Berdasarkan kajian ahli bahasa, unsur
pinjaman dari bahasa Arab oleh bahasa Indonesia meliputi masdar
(infinitit), isim faqil, isim mafqul, kata benda yang pembentukannya
bukan karena derivasi, kata benda yang menerangkan tempat atau waktu,
DIKSI Vol.JJ, No, J, Januari 2004
41
dan nomina relativa atau bentuk nisbah yang bentuk yang memberi arti
hubungannya dengan katabenda yangbersangkutan.
c. Perubahan Makna Kata
Secara sinkronis, makna sebuah kata atau leksem mungkin tidak
akan berubah, tetapi secara diakronis ada kemungkinan berubah.
Apalagi jika kata atau leksem tersebut merupakan kata serapan, yakni
kata yang diserap dari bahasa lain. Perubahan itu sendiri muncul karena
proses integrasi (Weinreich via Ma'nawi,1997), yang meliputi (1)
percampuradukan penggunaan kata-kata asing dengan kata baru; (2)
kata lama terhapus oleh kata pinjaman; (3) isi yang terkandung
tercampur aduk antara kata lama dengan kata pinjaman untuk tujuan
khusus.
Suatu bahasa menyerap kata dari bahasa lain karena didorong
kebutuhan untuk mengungkapkan suatu konsep, barang, atau tempat. Di
samping itu menggunakan atau meminjam kata-kata yang sudah jadi
lebihmudah daripadamembuat ataumenciptakan kata-katabaru.
Faktor penyebab perbedaan atau perubahan makna meliputi halhal
selain faktor kebahasaan, yakni faktor kesejarahan, faktor sosial,
faktor psikologis yang meliputi emotif, leksem tabu, dan faktor pengaruh
bahasa asing, sertakebutuhan kata barn (Pateda, 1986:71-72).Perubahan
makna tersebut, sebagaimana dikatakan Allan (1986) merupakan
fenomena linguistikyang benar-benartidak teratur dantidak sistematis
Perubahan makna tidak terjadi pada semua kosakata, melainkan
hanya terjadi pada sejumlah kata saja. Perubahan atau pergeseran makna
terjadi karena berbagai sebab, antara lain karena perkembangan ilmu dan
teknologi, perkembangan sosial budaya, p~rkembangan bidang
pemakaian, danasosiasi (Chaer,1994).
Menurut Chaer, perubahan makna sebenamya hanya tiga, yakni
meluas, menyempit, dan perubahan total. Suatu kata dikatakan meluas
maknanya apabila makna yang baru lebih luas daripada makna
terdahulu, termasuk di dalamnya sinestesia dan asosiasi. Perubahan
Perbedaan Makna Kata-kata Bahasa Indonesia (Tadkhiroatun M.)
- ---
42
menyempit merupakan perubahan makna yang lebih khusus, terperinci,
dan kecil daripada makna sebelumnya. Apabila perubahan-perubahan
itu tidak menyisakan makna walaupun terdapat mata rantai makna,
dikatakan sebagai perubahan makna total (Chaer, 1994).
D. PerbedaanMakna
Perbedaan makna kata-kata bahasa Indonesia yang diserap dari
bahasa Arab dengan makna kata sumbemya dapat dikategorikan ke
dalam tiga macam, Yakniperbedaaan makna meluas, menyempit, dan
perbedaaan makna total. Apabila ditelaah lebihjauh, perbedaan makna
tersebut memiliki pola tertentu. Berikut ini dibahas satu per satu jenis
perbedaandanpolayangmendasarinya. .
Dari 400 kata serapan yang dijaring, hanya 80 kata yang
memiliki perbedaan makna dengan makna dari bahasa Arab. Tiga puluh
di antaranya memiliki makna lebih sempit dari makna sumbemya, 18
kata memiliki makna lebih luas, dan 32 kata memiliki makna yang
berbeda total denganbahasa donomya.
1.MaknaMenyempit
Kosakata bahasa Indonesia serapan bahasa Arab mengalami
perbedaan makna menyempit dari makna bahasa donomyajika cakupan
makna yang terkandung dalam bahasa Indonesia lebih sempit atau lebih
spesifik dari cakupan makna dalam bahasa Arabnya. Kata ahad
misalnya, dalam bahasa Arab berarti satu, hari minggu, dan pertama.
Dalam bahasa Indonesia, kata ahad digunakan dengan makna hari
minggu, saja. Penggunaan kata ahad dalam bahasa Indonesia dengan
makna satu, dan pertama tidak lazim dan bahkan mungkin tidak
berterima.
(2 [ .l> '11t ~ f .l>1 ~ ~'J ]
liya'tiya ahadukumyaumal ahad
'Salah satu di antara kalian datanglahpada hari ahad'.
dan bukan
DIKSI Vo/.ll. No.1, Januari 2004
43
*'Salahahad di antara kalian datanglahpada hari ahad'. *
Di samping memiliki makna menyempit, kata ahad juga hanya
digunakan oleh kalangan Islam. Kata-kata seperti adab. ayat, dan khilaf
merupakan contoh lainkata-kata bahasa Indonesia serapan bahasa Arab
yang mengalami permasalahan serupa. Meskipun demikian, dalam
lingkup tertentu, kata-kata tertentu digunakan, seperti kata adab di
lingkunganperguruantinggi Islam dan pesantren.
Tabel I. Contoh Kosakata Bahasa Indonesia Serapan Bahasa Arab
yang Memiliki Makna Lebih Sempit dari Bahasa Donomya
2. Makna Meluas
Makna kata bahasa Indonesia serapan bahasa Arab dikatakan
meluas apabila cakupan makna dalam bahasa Indonesia lebih luas
daripada makna dalam bahasa Arab. Kata iahanan misalnya, yang
dipinjam dari bahasa Arab iahannam yang berarti 'nama salah satu
Perbedaan Makna Kata-kata Bahasa Indonesia (Tadkhiroatun M.)
- --
Kata dan Makna dalam Bahasa Arab Bentuk dan Makna dalam Bahasa Indonesia
Aclab: 1. etika, sopan santun Aclab: etika, sopan santun
2. sastra (catatan : makna sastra hanya digunakan
3. pendidikan di kalangan tertentu : fakultas Adab lAIN)
Ayat: 1. bagian claripasal Ayat: bagian dari pasal dalam UU,
2. alamat, tanda-tancla kitab suci
Khilaf : I. salah, keliru Khilaf: salah atau keliru
2. Pertentangan
Aman: 1. tenteram Aman: tenteram, tanpa gangguan
2. Sejahtera, makmur
Khotbah :I. Berpidato Khotbah : Pidato keagamaan
2. Sambutan
Ghoib: I. Hilang, tidak hadir Gaib : kasat mata
2. Kasat mata
--- - - -
44
neraka', setelah masuk menjadi kosakata bahasa Indonesia, maknanya
meluas. Kata iahanam dalam bahasa Indonesia dipergunakanjuga untuk
mengumpat. .
Kata abdi dalam bahasa Arab pada mulanya bermakna budak
laki-Iaki atau hamba. Setelah masuk ke dalam bahasa Indonesia, makna
tersebut meluas. Orang mempergunakan kata tersebut dalam arti
karyawan atau pegawai, sehingga sering ditemukan kalimat "saya
adalah abdi negara", bukan saja dalam arti pelayan negara, tetapi dalam
arti pegawai negara, yang digaji oleh negara. Abdi dalam pengertian
'karyawan atau pegawai' merupakan perkembangan makna barn yang
mengandung perbedaan sistem pengabdian yakni digaji dan memiliki
hak. Abdi dalampengertian ini tidak ditemui dalam bahasa Arab. Dalam
bahasa Arabdigunakan kata muwaddof.
(3 Saya adalah abdi negara
Apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Arab kalimat tersebut
akanmenjadi:
[ ~ ."s:.:..1~If ul ] 'ana muwaddofhukumati
dan bukan
[ ~."s:.:..-¥ul ] 'ana 'abdul hukumati
Di lain pihak, abdi dalam arti 'budak atau hamba' mulai jarang
digunakan dalam bahasa Indonesia. Dapat juga dikatakan bahwa abdi
dalam arti "karyawan atau pegawai' merupakan proses pembaikan
makna atau ameliorasi. Lihatjuga tabel berikut ini.
DIKSI Vol.ll. No.1, Januari 2004
45
Tabel 2. Contoh Kosakata Bahasa Indonesia Serapan Bahasa Arab
yang Memiliki Makna 'LebihLuas dari Makna Sumbemya
3. Perbedaan Makna Total
Kosakata bahasa Indonesia serapan bahasa Arab kadang
memiliki makna berbeda dan tidak menyisakan makna dari bahasa
donomya. Artinya, makna yang dimiliki sekarang sudah jauh berbeda
dengan makna kata aslinya. Beberapa kosakata bahasa Indonesia
serapan bahasa Arab yang mengalami perbedaan makna total ini. Kata
lahil misalnya, dalam bahasa Arab berarti 'bodoh atau pandir', namun
dalam bahasa Indonesia, lahil berarti 'usil, jahat'. Jahat dalam bahasa
Arab adalah syirik atau syirru
(4)[ JA~~~~~~~ ]
manlaya'lamu'an syai'in fahuwa laahilun
'Orang yang tidak tahu tentang sesuatu, maka dia bodoh dalam masalah itu'
bukan
'Orang yang tidak tahu tentang sesuatu, maka dia usil dalam masalah itu'.
Makna 'bodoh' untuk kata lahil dalam bahasa Indonesia tidak
Perbedaan Makna Kata-kata Bahasa Indonesia (Tadkhiroatun M.)
- - - -
L
Makna dalam Bahasa Arab Makna dalam Bahasa Indonesia
Fahama : pengertian, pemahaman Paham : (I) pengertian, pengetahuan
(2) aliran, kepercayaan
Dlorurot : terpaksa, Darurat: (1) keadaan sukar,
tidak ada pilihan (2)terpaksa
(3) bersifat sementaralala kadarnya
Dunya : alam jagat raya Dunia: (1) alamjagat raya
(2) ruang lingkup suatu masalah
Haq : nyata, pasti, benar Hak: (1) nyata, benar,
(2) kewenangan, milik
Sidiq : benar, lurus (untuk hati) Sidik : (1) benar, jujur
(2) pembenaran
(3) dini hari
J -----
46
berterima. Demikian pula sebaliknya, penggunaan kataiahil dengan
makna 'usil, jahat' tidak berterima dalam bahasa Arab. Seperti juga kata
hebat yang diserap dari bahasa arab haibat. Haibat dalam bahasa Arab
berarti 'disegani, yang ditakuti', dalam bahasa Indonesia kata tersebut
memiliki makna 'dahsyat, luar biasa, sangat bagus'.
(5)[ ~~ ~~ ~I.J: liwIS'" ]
Ka:na qo'idujjuyu:syi dza haibatin 'adlimatin
'Panglima perang itusangat hebat (disegani)'
Makna haibat dalam bahasa Arab dapat digunakan untuk
pengertian ditakuti, karena membunuh misalnya. Dalam bahasa
Indonesia, makna tersebut tidak berterima.
(6) * Orang itu sangat hebat, karena telah membunuh banyak
orang
Makna hebat dalam bahasa Indonesia mengacu pada pengertian
yang cenderung positif atau luar biasa. Dalam bahasa Arab, orang
menggunakan kata syadidatununtuk pengertian tersebut.
(7)[ '$0 -"'!~o ~~~I ]
Alburudatu syadidarunjirron 'Dinginnya luar biasa'
Ada setidak-tidaknya 32 kata bahasa Indonesia serapan bahasa
Arab yang memiliki makna yang berbeda dari bahasa donpmya, di
antaranya contoh berikut.
Tabel3. Contoh Kosakata Bahasa Indonesia Serapan Bahasa Arab
yang Maknanya Berubah Total dari Bahasa Donomya
DIKSI Vol.1l. No.1, Januari 2004
Kata dan Makna dalam Bahasa Arab Bentuk dan Makna dalam Bahasa Indonesia
Hummat : keputusan Hemat : pikiran, pendapat
Himmat: kemauan Hemat : teliti, cennat, tidak boros
?azimat: kemauan yang kuat Azimat /Jimat : benda yang dianggap bertuah
Karamat: kemulian, suci Keramat : bertuah, memberi efek magis
Was-was : menghasut, bisikan Was-was : khawatir, raguragu
Syajaroh : pohon, silsilah Sejarah : Peristiwa masa lalu yang benar terjadi
47
Kata hemat yang dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai
homonim sebenamya memiliki akar kata yang sarna dalam bahasa Arab.
Makna kata hemat dalam bahasa Indonesiaberbeda dengan makna kata
tersebut dalam bahasa donornya. Demikianjuga dengan kata iimat yang
berasal dari kata azimat, kata keramat dari kata karomat, kata was-was
dari kata was-was. kata seiarah dari kata syaiaroh. Kata-kata tersebut
telah diserap dalam bahasa Indonesia,dan dalam proses integrasinya
mengalami perubahan makna yang berbeda total dengan makna dalam
bahasa donornya.
E. Pola Perbedaan Makna
Perbedaan makna kata-kata bahasa Indonesia serapan bahasa
Arab dengan makna dalam bahasa donomya memiliki setidak-tidaknya
lima pola. Pola-pola tersebut adalah pola spesifikasi atau hiponimi, pola
pilihan homonimi, pembentukan konsep barn, efek makna, dan
pembedaan makna.
1. Spesifikasi
Kata bahasa Indonesia serapan bahasa Arab dikatakan berpola
spesifikasi apabila makna yang terdapat dalam bahasa Indonesia
merupakan bagian dari makna dalam bahasa Arab. Dengan kata lain,
makna dalam bahasa Indonesia lebih spesifik Pola ini terjadi pada katakata
yang dalam bahasa Arab mempunyai gradasi makna umum, tetapi
setelah diserap dalam bahasa Indonesia mengalami spesifikasi. Kata
serbat yang diserap dari kata syurbat misalnya, yang dalam bahasa Arab
bermakna minuman (generik), setelah diserap dalam bahasa Indonesia
menjadi serbat (spesifik) yakni minuman dari jahe. Demikian juga
dengan kata madrasah, kitab, dan tabib. Kata-kata tersebut semula
memiliki makna yang lebih general,namun setelahdiserap dalam bahasa
Indonesia menjadi lebih spesifik.
Perbedaan Makna Kata-kata Bahasa Indonesia (Tadkhiroatun M.)
- ---
48
Tabel 4. Contoh Kata Bahasa Indonesia Serapan Bahasa Arab
Yang Mengalami Spesifikasi Makna dari Bahasa Donornya
]
Syaribtu syurbatullabari 'Saya minum (minuman) susu'
dan tidak tepat bila diterjemahkan 'Saya minum serbat susu'.
Makna kata syurbat dalam bahasa Arab mengacu pada berbagai
minuman dalam bentuk cair, sehingga spesifikasi ditunjukkan dengan
memberi keterangan pada nomina tersebut. Dalam bahasa Indonesia,
makna minuman dalam bentuk cair telah dikandung dalampredikatnya.
Dengan demikian, kalimat "Saya minum susu" mengandung pengertian
bahwa yang diminum adalah susu cairoDemikian juga kata madrosah
yang dalam bahasa Arab berarti sekolah, dalam bahasa Indonesia makna
kata tersebut mengalami spesifikasi. Tidak mungkin membuat kalimat
bahasa Indonesia dengankata madrasah untuk makna sekolah.
(9) *Madrasah Loyolaberada di Semarang.
Kalimat di atas akan membuat orang yang mendengarnya
tertawa karena mungkin dianggap sebagai lelucon. Dalam bahasa
Indon~atamadrasah hanya digunakan untuk sekolah-sekolah
Islam, seperti ~iyah (setingkat SMU), madrasah Tsanawiyah
(setingkat SLTP), dan madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD). Apabila
dibuat bagan, akan diperolehwujud sebagai berikut.
DIKSI Vo/.Il. No.1, Januari 2004
Kata dan Makna dalam Bahasa Arab Kata dan Makoa dalam Bahasa Indonesia
1. Madrosah: sekolah 1. Madrasah : sekolah Islam
2. Kitab : buku 2. Kitab: Buku suci agama
3. Tabib :juru sembuh 3. Tabib : juru sembuh non-medis
4. Imam : pemimpin 4. Imam: pemimpin dalam sholat
5. Hisab : menghitung, menduga 5. Hisab: menghitung untuk astronomi & nasib
6. Syurbat : minuman 6. Serbat : minuman panas (khususnya dari jahe)
49
. BI
!
Keterangan:
BA = bentuk kata bahasa Arab
BI = bentuk kata bahasa Indonesia
MA= makna kata bahasa Arab
MI = makna kata bahasa Indonesia
AI,A2,A3 = spesifikasi makna dari MA ke MI
BA
!
MA MI
ffi/ Al A2 A3
Gambar 1. Pola Spesifikasi Makna Kata Bahasa Indonesia
Serapan Bahasa Arab dari Bahasa Donomya.
Dari gambar dapat diinterpretasikan bahwa makna semula dalam
bahasa donor dianggap sebagai makna general yang memiliki
spesifikasi. Kata minuman misalnya, memiliki spesifikasi susu, teh,
jahe, minuman ringan, dan sebagainya. Bahasa Indonesia mengambil
salah satu spesifikasi tersebut. Pola ini sarna dengan pola hipemimhiponim,
yang berarti makna dalam bahasa Arab dianggap sebagai
hipemimnya, dan makna dalam bahasa Indonesia dianggap sebagai
hiponim.
2. Pola PemilihanHomonim
Pola pemilihan homonim merupakan pola penyempitan makna
karena adanya pengambilan satu makna di antara beberapa makna yang
ada. Apabila ada dua kata atau lebih yang memiliki bentuk sarna tetapi
berbeda maknanya, maka hanya diambil satu makna saja. Hal itu dapat
dilihat pada contoh kalimat dengan menggunakan kata adab,dan hamil
berikutini. .
(10)[ y,)~Iy l:5~J~10 I..} ]
Qara'tusysyi'ra fi kitabil adabi 'Saya membaca syair itu di buku
sastra '
Kalimat tersebut tidak akan berterima apabila diterjemahkan
Perbedaan Makna Kata-kata Bahasa Indonesia (Tadkhiroatun M.)
- ---
50
sebagai berikut
* 'Saya membaca syair itu di buku adab'
(11)[ ~,:)~~Ii~ ]
Yuhtaramul fata: li'adabihi 'Pemuda itu dihormati karena sopan
santunnya'
Kalimat tersebut tetap berterima apabila diterjemahkan sebagai
berikut.
'Pemuda itu dihormati karena adabnya'
(12)[ ~ll.A-- l:5IJo l> ~IJ ]
Ra'aitu Haamilal kitaabi fi maktabi
'Saya melihat ada orang membawabuku di perpustakaan'
Kalimat tersebut tidak berterima jika diterjemahkan sebagai
berikut.
* 'Saya melihat ada orang hamil buku di perpustakaan'.
Pola pemilihan homonim terjadi karena bahasa Indonesia hanya
menyerap satu kata di antara dua kata yang memiliki kesamaan bentuk
tersebut. Mungkin juga makna kata yang satu telah ada dalam
perbendaharaan kata bahasa Indonesia. Kata waqof yang kemudian
diserap menjadi wakaf misalnya, dalam bahasa Arab memiliki dua
makna, yakni derma dan jeda. Kata tersebut mengalami dua proses
sekaligus, yakni proses spesifikasi dan pemilihan homonimi. Akhimya,
dalam bahasa Indonesia kata wakafmemiliki makna derma ikhlas (tidak
dapat digugat kembali) demi kepentingan umum. Pemberian dalam arti
lain bahasa Indonesia memiliki kata bantuan, pemberian, derma.
Penyempitan makna denganpola ini dapat digambarkan sebagai berikut.
DIKSI Vol.JJ. No. J. Januari 2004
51
. BI
1
BA 1\ MAl MA2 .MI
Keterangan:
BA = Bentuk kata dalam bahasa Arab
BI = Bentuk kata dalam bahasa Indonesia
MA I = Makna Arab I
MA 2 = Makna Arab 2
MI = Makna dalam Bahasa Indonesia
Gambar 2 : Pola Pemilihan Homonimi Makna Kata Bahasa Indonesia
Serapan bahasa Arab dari Bahasa Donomya
3. Pembentukan Konsep Barn
Pembentukan konsep barn merupakan pola yang mendasari
perbedaan makna meluas. Bahasa Indonesia meminjam kata dalam
bahasa Arab yan dalam perkembangannya, kata-kata tersebut diberi
makna barn oleh para penutur bahasa Indonesia. Kata haiat misalnya,
semula memiliki makna yang sarna dengan bahasa donomya, yakni
kemauan, keinginan. Dalam perkembangannya, kata haiat juga
digunakan bersama-sama dengan kata buang, dan memiliki makna
sebagai 'kotoran' dalam buang haiat. Demikianjuga dengan kata dunia.
Pada mulanya, dunia berarti alam tempat hidup manusia sebelum mati.
Dalam perkembangannya, kata dunia juga digunakan untuk pengertian
permasalahan, sehingga ditemukan istilah dunia wanita, dunia
pertelevisian. dan sebagainya.
Pembentukan konsep baru kata-kata serapan tersebut
mengakibatkan makna kata dalam bahasa Indonesia lebih luas daripada
makna kata tersebut dalam bahasa donomya. Perluasan makna dengan
Perbedaan Makna Kata-kata Bahasa Indonesia (Tadkhiroatun M.)
52
pembentukan konsep barn dapat digambarkan sebagaiberikut.
. BI~ BA
1
MA .MII MI2
Keterangan:
BA = Bentuk kata dalam bahasa Arab
BI = Bentuk kata dalam bahasa Indonesia
MA = Makna dalam Bahasa Arab
.MI I = Makna dalam bahasa Indonesia dari bahasa Arab
MI 2 = Makna kedua hasil dari Pembentukan konsep barn
Gambar 3 : Pola Pembentukan Konsep Barn Makna Kata-kata
Bahasa Indonesia Serapan Bahasa Arab
Pola ini tidak begitu banyak ditemukan dalam kosakata bahasa
Indonesia serapan bahasa Arab. Hal ini mungkin disebabkan oleh
masuknya perbendaharaan kata bahasa selain bahasa Arab untuk
menampung konsep-konsep barn,
4. Efek Makna
Makna kata dikatakan mengalami pengefekan apabila makna
yang terdapat dalam bahasa Indonesia berbeda dengan makna dalam
bahasa donornya, tetapi perbedaan tersebut mempunyai kaitan. Kaitan
tersebut diasumsikan sebagai efek, yakni efek dari konsep makna yang
terdapat dalam bahasa donornya. Kata hasut misalnya, berasal dari
bahasa Arab hasat yang berarti dengki. Orang yang dengki suka sekali
memprovokasi atau mempengarnhi pihak lain agar berbuat tidak baik
Dalam bahasa Indonesia, yang diambil sebagai makna adalah efek dari
sifat dengkit, yakni kegiatan memprovokasi pihak lain tersebut. Oleh
DIKSI Vol.ll, No.1, Januari 2004
53
karena itu, kata hasut memiliki makna mempengaruhi orang lain agar
berbuat tidak baik. Dengan kata lain, makna hasut dalam bahasa
Indonesia merupakanefekmakna hasut dalambahasa donomya.
(13)[ 0 ~I ~I~.J ~ )f
La: tasma' waswas: asy-syaito:ni
setan'
Kalimat terse but menjadi tidak berterima jika kata was-was
diterjemahkan sebagai was-was 'khawatir'.
* Jangan kau dengar 'was-was~ setan
Kata-kata yang bergaris bawah, yakni was-was dan hasut
merupakan kata-kata serapan yang telah mengalami perubahan makna.
Hal tersebut ditunjukkan dengan pengkontrastifan kalimat. Makna
dalam bahasa Arab tidak sarna dengan makna dalam bahasa Indonesia.
Meskipun demikian, apabila ditelaah lebih Ianjut, perbedaan tersebut
masih berkaitan. Makna dalam bahasa Indonesia merupakan akibat dari
aksi pelaku yang ditunjukkan oleh kata-kata dalambahasa Arab.
]
'Jangankaudengarbisikan
BA
1
.BI
1
MA
! ~ MI 1/
Keterangan:
BA = Bentuk kata dalam bahasa Arab
BI = Bentuk kata dalam bahasa Indonesia
MA = Makna dalam Bahasa Arab
MI = Makna dalam bahasa Indonesia
EMA = Efek dari makna bahasa Arab
Gambar 4. Pola Efek Makna Makna Kata Bahasa Indonesia
Serapan Bahasa Arab dari Bahasa Donomya
Perbedaan Makna Kata-kata Bahasa Indonesia (Tadkhiroatun M.)
- -- --
---- --
54
5. PembedaanMakna
Pembedaan makna merupakan pola kedua yang mendasari
perubahan makna selain pola efek makna. Berbeda dengan pola efek
makna, makna kata dengan pola pembedaan makna tidak memiliki
kaitan makna, bahkan dikatakan sangat berbeda sehingga suIit dideteksi
kaitan maknanya.Dapat pula dikatakan bahwa tidak ada pola yang dapat
dirunut kecuali hanya perbedaan itu sendiri, sehingga disebut pola
pembedaan makna. Cukup banyak kata-kata bahasa Indonesia serapan
dari bahasa Arab yang mengalami perubahan makna total dari bahasa
donornya ini. Kata-kata serapan yang dapat dijadikan contoh adalah kata
maqom:makam, rukun:rukun, syaiaroh:seiarah, azimat:iimat.
Perbedaamtersebut lebih terlihat melalui konteks kalimat berikut ini.
(14)[ ~ J'! I i l.i.o J I ]
Aina maQomu ibrohima 'Di mana tempat bekas tapak Ibrahim?'
Kata maqom dalam kalimat tersebut memiliki arti tempat bekas
berpijak nama Ibrahim. Pertanyaan tersebut diajukan apabila seorang
yang berhaji mencari hajar aswad, dan bukan menanyakan tempat Nabi
Ibrahim dikuburkan. Tempat di mana seseorang dimakamkan dalam
bahasa Arab disebut kubro. Demikian juga kata syaiaroh yang dalam
bahasa Arab berarti pohon, dalam bahasa Indonesia, kata tersebut
diserap menjadi bentuk seiarah dengan makna "peristiwa masa lalu yang
benar-benar terjadi'.
(15)[~JS'Fo~1 ]
Asyaiarotu tutsmiru kulla sanatin
Kata syaiarotu dalam kalimat tersebut diterjemahkan sebagai
'pohon' dan menjadi tidak berterima apabila diterjemahkan
scbagai'sejarah'.
*'Sejarah rambutan saya berbuah tiap tahun'
seharusnya
'Pohon rambutan saya berbuattiap tahun'
DIKSI Vol.ll. No.1. Januari 2004
55
Perubahan makna total dengan pola pembedaan makna ini,
seperti dicontohkan dalam kalimat-kalimat di atas membuktikan bahwa
walaupun kata-kata tersebut diserap dari bahasa Arab, dalam
perkembangannyakata-kata itu mempunyaimakna sendiri.
F.Penutup
Pengkajian ini menunjukkan bahwa dalam proses penyerapan
bahasa Indonesia dari bahasa Arab teIjadi perbedaan makna yang
dikategorikan sebagai pergeseran makna meluas dan menyempit serta
perubahan makna.
Pemolaan beserta nama-namanya merupakan hasil berpikir yang
mungkin saja akan mengalami perkembangan di masa mendatang. Hal
itu berkenaan dengan beberapa kendala intuitif dan kasus semantik
makna kata-kata tersebut.
Kajian ini belum sampai pada sebab sosiologis dan antropologis
yang melatarbelakani muncuinya permasalahan, karena beberapa hal.
Pertama,permasalahan tersebut lebih tepat dikaji melalui etimologi kata.
Kedua, kemungkinan jawaban melalui studi linguistik tidak
menjangkau, Ketiga, penulis tidak memiliki kemampuan menguak
sebab-sebab tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Allan, K.. 1986.Linguistic Meaning. London: Routledge&Kegan Paul.
Eddy, N.T.. 1989. Unsur Serapan Bahasa Asing dalam Bahasa
Indonesia. Flores: PenerbitNusa Indah.
Chaer,A. 1994.Linguistik Umum.Jakarta: Rineka Cipta.
. 1995.Pengantar Semantik BahasaIndonesia. Jakarta: Rineka
Cipta.
Ma'nawi, A. 1997. Pembentukan Verba dan Nomina dalam Bahasa
Indonesia : Kajian Morfologis Unsur Pinjaman Bahasa
Perbedaan Makna Kata-kata Bahasa Indonesia (Tadkhiroatun M.)
56
Indonesia. Yogyakarta : Tesis. Universitas Gadjah Mada. Tidak
diterbitkan.
Munawwir, A.W. 1997. AI-Munawwir : Kamus Arab-Indonesia.
Yogyakarta: PusakaProgressif.
Pateda,M. 1986.SemantikLeksikal. Ende Flores: Nusa Indah.
Poerwadanninta,W.J.S. 1986.Kamus UmumBahasa Indonesia. Jakarta
: Balai Pustaka.
Sudarno. 1992.Kata Serapan dari Bahasa Arab. Jakarta: Arikha Media
Cipta.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa :
Pengantar Penelitian WahanaKebudayaan secara Linguistik.
Yogyakarta : Duta WacanaUniversity Press.
Suparno. 1994.Logat. Semarang :CVSuryaAngkasa
DIKSI Vol.H, No.1, Januari 2004

INTERFERENSI DAN INTEGRASI BAHASA


INTERFERENSI DAN INTEGRASI BAHASA

Oleh: muhzil.zusro

1. Pendahuluan
Bahasa selalu mengalami perkembangan dan perubahan. Perkembangan dan perubahan itu terjadi karena adanya perubahan sosial, ekonomi, dan budaya. Perkembangan bahasa yang cukup pesat terjadi pada bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kontak pada bidang politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan lainnya dapat menyebabkan suatu bahasa terpengaruh oleh bahasa yang lain. Proses saling mempengaruhi antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain tidak dapat dihindarkan. Bahasa sebagai bagian integral kebudayaan tidak dapat lepas dari masalah di atas. Saling mempengaruhi antarbahasa pasti terjadi, misalnya kosakata bahasa yang bersangkutan, mengingat kosakata itu memiliki sifat terbuka. Menurut Weinrich (dalam Chaer dan Agustina 1995:159) kontak bahasa merupakan peristiwa pemakaian dua bahasa oleh penutur yang sama secara bergantian. Dari kontak bahasa itu terjadi transfer atau pemindahan unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain yang mencakup semua tataran. Sebagai konsekuensinya, proses pinjam meminjam dan saling mempengaruhi terhadap unsur bahasa yang lain tidak dapat dihindari. Suwito (1985:39-40) mengatakan bahwa apabila dua bahasa atau lebih digunakan secara bergantian oleh penutur yang sama, dapat dikatakan bahwa bahasa tesebut dalam keadaan saling kontak. Dalam setiap kontak bahasa terjadi proses saling mempengaruhi antara bahasa satu dengan bahasa yang lain. Sebagai akibatnya, interferensi akan muncul, baik secara lisan maupun tertulis.
Adanya kedwibahasaan juga akan menimbulkan adanya interferensi dan integrasi bahasa. Interferensi bahasa yaitu penyimpangan norma kebahasaan yang terjadi dalam ujaran dwibahasawan karena keakrabannya terhadap lebih dari satu bahasa, yang disebabkan karena adanya kontak bahasa.
Selain kontak bahasa, faktor penyebab timbulnya interferensi menurut Weinrich (dalam Sukardi 1999:4) adalah tidak cukupnya kosakata suatu bahasa dalam menghadapi kemajuan dan pembaharuan. Selain itu, juga menghilangnya kata-kata yang jarang digunakan, kebutuhan akan sinonim, dan prestise bahasa sumber. Kedwibahasaan peserta tutur dan tipisnya kesetiaan terhadap bahasa penerima juga merupakan faktor penyebab terjadinya interferensi.
2.  Interferensi dan Integrasi
2.1 Interferensi
Alwasilah (1985:131) mengetengahkan pengertian interferensi berdasarkan rumusan Hartman dan Stonk bahwa interferensi merupakan kekeliruan yang disebabkan oleh adanya kecenderungan membiasakan pengucapan (ujaran) suatu bahasa terhadap bahasa lain mencakup pengucapan satuan bunyi, tata bahasa, dan kosakata. Sementara itu, Jendra (1991:109) mengemukakan bahwa interferensi meliputi berbagai aspek kebahasaan, bisa menyerap dalam bidang tata bunyi (fonologi), tata bentukan kata (morfologi), tata kalimat (sintaksis), kosakata (leksikon), dan tata makna (semantik) (Suwito,1985:55).
Interferensi, menurut Nababan (1984), merupakan kekeliruan yang terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa atau dialek kedua. Senada dengan itu, Chaer dan Agustina (1995: 168) mengemukakan bahwa interferensi adalah peristiwa penyimpangan norma dari salah satu bahasa atau lebih.
Untuk memantapkan pemahaman mengenai pengertian interferensi, berikut ini akan diketengahkan pokok-pokok pikiran para ahli dibidang sisiolinguistik yang telah mendefinisikan peristiwa ini.
Menurut pendapat Chaer (1998:159) interferensi pertama kali digunakan oleh Weinrich untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Interferensi mengacu pada adanya penyimpangan dalam menggunakan suatu bahasa dengan memasukkan sistem bahasa lain. Serpihan-serpihan klausa dari bahasa lain dalam suatu kalimat bahasa lain juga dapat dianggap sebagai peristiwa interferensi. Sedangkan, menurut Hartman dan Stonk dalam Chair (1998:160) interferensi terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa atau dialek kedua.
Abdulhayi (1985:8) mengacu pada pendapat Valdman (1966) merumuskan bahwa interferensi merupakan hambatan sebagai akibat adanya kebiasaan pemakai bahasa ibu (bahasa pertama) dalam penguasaan bahasa yang dipelajari (bahasa kedua). Sebagai konsekuensinya, terjadi transfer atau pemindahan unsur negatif dari bahasa ibu ke dalam bahasa sasaran.
Pendapat lain mengenai interferensi dikemukakan oleh Alwasilah (1985:131) mengetengahkan pengertian interferensi berdasarkan rumusan Hartman dan Stonk, bahwa interferensi merupakan kekeliruan yang disebabkan oleh adanya kecenderungan membiasakan pengucapan (ujaran) suatu bahasa terhadap bahasa lain mencakupi pengucapan satuan bunyi, tata bahasa dan kosakata. Suhendra Yusuf (1994:67) menyatakan bahwa faktor utama yang dapat menyebabkan interferensi antara lain perbedaan antara bahasa sumber dan bahasa sasaran. Perbedaan itu tidak hanya dalam struktur bahasa melainkan juga keragaman kosakata.
Pengertian lain dikemukakan oleh Jendra (1995:187)  menyatakan bahwa interferensi sebagai gejala penyusupan sistem suatu bahasa ke dalam bahasa lain. Interferensi timbul karena dwibahasawan menerapkan sistem satuan bunyi (fonem) bahasa pertama ke dalam sistem bunyi bahasa kedua sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan atau penyimpangan  pada sistem fonemik bahasa penerima.
Interferensi merupakan gejala perubahan terbesar, terpenting dan paling dominan dalam perkembangan bahasa. Dalam bahasa besar, yang kaya akan kosakata seperti bahasa Inggris dan Arab pun, dalam perkembangannnya tidak dapat terlepas dari interferensi, terutama untuk kosakata yang berkenaan dengan budaya dan alam lingkungan bahasa donor. Gejala interferensi dari bahasa  yang satu kepada bahasa yang lain sulit untuk dihindari. Terjadinya gejala interferensi juga tidak lepas dari perilaku penutur bahasa penerima.
Menurut Bawa (1981: 8), ada tiga ciri pokok perilaku atau sikap bahasa. Ketiga ciri pokok sikap bahasa itu adalah (1) language loyality, yaitu sikap loyalitas/ kesetiaan terhadap bahasa, (2) language pride, yaitu sikap kebanggaan terhadap bahasa, dan (3) awareness of the norm, yaitu sikap sadar adanya norma bahasa. Jika wawasan terhadap ketiga ciri pokok atau sikap bahasa itu kurang sempurna dimiliki seseorang, berarti penutur bahasa itu bersikap kurang positif terhadap keberadaan bahasanya. Kecenderungan itu dapat dipandang sebagai latar belakang munculnya interferensi.
Dari segi kemurnian bahasa, interferensi pada tingkat apa pun (fonologi, morfologi dan sintaksis) merupakan penyakit yang merusak bahasa, jadi perlu dihindari (Chaer dan Agustina (1998: 165)
Jendra (1991:105) menyatakan bahwa dalam interferensi terdapat tiga unsur pokok, yaitu bahasa sumber atau bahasa donor, yaitu bahasa yang menyusup unsur-unsurnya atau sistemnya ke dalam bahasa lain; bahasa penerima atau bahasa resipien, yaitu bahasa yang menerima atau yang disisipi oleh bahasa sumber; dan adanya unsur bahasa yang terserap (importasi) atau unsur serapan.
Dalam komunikasi bahasa yang menjadi sumber serapan pada saat tertentu akan beralih peran menjadi bahasa penerima pada saat yang lain, dan sebaliknya. Begitu juga dengan bahasa penerima dapat berperan sebagai bahasa sumber. Dengan demikian interferensi dapat terjadi secara timbal balik.
Bertolak dari pendapat para ahli mengenai pengertian interferensi di atas, dapat disimpulkan bahwa.
  1. kontak bahasa menimbulkan  gejala interferensi dalam tuturan dwibahasawan.
  2. interferensi merupakan gejala penyusupan sistem suatu bahasa ke dalam bahasa lain
  3. unsur bahasa yang menyusup ke dalam struktur bahasa yang lain dapat menimbulkan dampak negatif, dan
  4. interferensi merupakan gejala ujaran yang bersifat perseorangan, dan ruang geraknya dianggap sempit yang terjadi sebagai gejala parole (speech).
Interferensi berbeda dengan integrasi. Integrasi adalah unsur-unsur bahasa lain yang digunakan dalam bahasa tertentu dan dianggap sudah menjadi bagian dari bahasa tersebut, serta tidak dianggap sebagai unsur pinjaman atau pungutan (Chaer dan Agustina 1995:168). Senada dengan itu, Jendra (1991:115) menyatakan bahwa dalam proses integrasi unsur serapan itu telah disesuaikan dengan sistem atau kaidah bahasa penyerapnya, sehingga tidak terasa lagi sifat keasingannya. Dalam hal ini, jika suatu unsur serapan (interferensi) sudah dicantumkan dalam kamus bahasa penerima, dapat dikatakan bahwa unsur itu sudah terintegrasi. Jika unsur tersebut belum tercantum dalam kamus bahasa penerima, berarti bahasa tersebut belum terintegrasi.
Suwito (1983:54), seperti halnya Jendra juga memandang bahwa interferensi pada umumnya dianggap sebagai gejala tutur (speech, parole), hanya terjadi pada dwibahasawan dan peristiwanya dianggap sebagai penyimpangan. Interferensi dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu terjadi karena unsur-unsur serapan yang sebenarnya telah ada padanannya dalam bahasa penyerap, sehingga cepat atau lambat sesuai dengan perkembangan bahasa penyerap, diharapkan makin berkurang atau sampai batas yang paling minim.
Interferensi merupakan gejala perubahan terbesar, terpenting dan paling dominan dalam bahasa (Hockett dalam Suwito, 1983:54). Dari pendapat hockett tersebut perlu dicermati bahwa gejala kebahasaan ini perlu mendapatkan perhatian besar. Hal ini disebabkan interferensi dapat terjadi di semua komponen kebahasaan, mulai bidang tatabunyi, tatabentuk, tatakalimat, tatakata, dan tatamakna Berdasarkan hal tersebut dapat dijelaskan bahwa dalam proses interferensi ada tiga hal yang mengambil peranan, yaitu:
  1. bahasa sumber atau bahasa donor
  2. bahasa penyerap atau resipien
  3. unsur serapan atau importasi
Interferensi dalam bidang fonologi
Contoh : jika penutur bahasa Jawa mengucapkan kata-kata berupa nama tempat yang berawal bunyi /b/, /d/, /g/, dan /j/, misalnya pada kata Bandung, Deli, Gombong, dan Jambi. Seringkali orang Jawa mengucapkannya dengan /mBandung/, /nDeli/,/nJambi/, dan /nGgombong/.

Interferensi dalam bidang morfologi
Interferensi morfologi dipandang oleh para ahli bahasa sebagai interferensi yang paling banyak terjadi.Interferensi ini terjadi dalam pembentuka kata dengan menyerap afiks-afiks bahasa lain. Misalnya kalau sering kali kita mendengar ada kata kepukul, ketabrak, kebesaran, kekecilan, kemahalan, sungguhan, bubaran, duaan. Bentuk-bentuk tersebut dikatakan sebagai bentuk interferensi karena bentuk-bentuk tersebut sebenarnya ada bentuk yang benar, yaitu terpukul, tertabrak, terlalu besar, terlalu kecil, terlalu mahal, kesungguhan, berpisah (bubar), dan berdua.Berdasarkan data-data di atas jelas bahwa proses pembentukan kata yang disebut interferensi morfologi tersebut mempunyai bentuk dasar berupa kosa kata bahasa Indonesia dengan afiks-sfiks dari bahasa daerah atau bahasa asing.

Interferensi dalam bentuk kalimat
Interferensi dalam bidang ini jarang terjadi. Hal ini memang perlu dihindari karena pola struktur merupakan ciri utama kemandirian sesuatu bahasa. Misalnya, Rumahnya ayahnya Ali yang besar sendiri di kampung itu, atau Makanan itu telah dimakan oleh saya, atau Hal itu saya telah katakan kepadamu kemarin. Bentuk tersebut merupakan bentuk interferensi karena sebenarnya ada padanan bentuk tersebut yang dianggap lebih gramatikal yaitu: Rumah ayah Ali yang besar di kampung ini, Makanan itu telah saya makan, dan Hal itu telah saya katakan kepadamu kemarin.Terjadinya penyimpangan tersebut disebabkan karena ada padanan konteks dari bahasa donor, misalnya: Omahe bapake Ali sing gedhe dhewe ing kampung iku, dan seterusnya

Interferensi Semantik
Berdasarkan bahasa resipien (penyerap) interferensi semantis dapat dibedakan menjadi,
  1. Jika interferensi terjadi karena bahasa resipien menyerap konsep kultural beserta namanya dari bahasa lain, yang disebut sebagai perluasan (ekspansif). Contohnya kata demokrasi, politik, revolusi yang berasal dari bahasa Yunani-Latin.
  2. Yang perlu mendapat perhatian, interferensi harus dibedakan dengan alih kode dan campur kode. Alih kode menurut Chaer dan Agustina (1995:158) adalah peristiwa penggantian bahasa atau ragam bahasa oleh seorang penutur karena adanya sebab-sebab tertentu, dan dilakukan dengan sengaja. Sementara itu, campur kode adalah pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling  memasukkan unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten. Interferensi merupakan topik dalam sosiolinguistik yang terjadi sebagai akibat pemakaian dua bahasa atau lebih secara bergantian oleh seorang dwibahasawan, yaitu penutur yang mengenal lebih dari satu  bahasa. Penyebab  terjadinya interferensi adalah kemampuan penutur dalam menggunakan bahasa tertentu sehingga dipengaruhi oleh bahasa lain (Chaer,1995:158). Biasanya interferensi terjadi dalam penggunaan bahasa kedua, dan yang menginterferensi adalah bahasa pertama atau bahasa ibu
2.1.1 Jenis Interferensi
Interferensi merupakan gejala umum dalam sisiolinguistik yang terjadi sebagai akibat dari kontak bahasa, yaitu penggunaan dua bahasa atau lebih dalam masyarakat tutur yang multilingual. Hal ini merupakan suatu masalah yang menarik perhatian para ahli bahasa. Mereka memberikan pengamatan dari sudut pandang yang berbeda beda. Dari pengamatan para ahli tersebut timbul bermacam-macam interferensi.
Secara umum, Ardiana (1940:14) membagi interferensi menjadi lima macam, yaitu
(1)    Interferensi kultural dapat tercermin melalui bahasa yang digunakan oleh dwibahasawan. Dalam tuturan dwibahasawan tersebut muncul unsur-unsur asing sebagai akibat usaha penutur untuk menyatakan fenomena atau pengalaman baru.
(2)    Interferensi semantik adalah interferensi yang terjadi dalam penggunaan kata yang mempunyai variabel dalam suatu bahasa.
(3)    Interferensi leksikal, harus dibedakan dengan kata pinjaman. Kata pinjaman atau integrasi telah menyatu dengan bahasa kedua, sedangkan interferensi belum dapat diterima sebagai bagian bahasa kedua. Masuknya unsur leksikal bahasa pertama atau bahasa asing ke dalam bahasa kedua itu bersifat mengganggu.
(4)    Interferensi fonologis mencakup intonasi, irama penjedaan dan artikulasi.
(5)    Interferensi gramatikal meliputi interferensi morfologis, fraseologis dan sintaksis.
Interferensi menurut Jendra (1991:106-114) dapat dilihat dari berbagai sudut sehingga akan menimbulkan berbagai macam interferensi antara lain:
(1)    Interferensi ditinjau dari asal unsur serapan
Kontak bahasa  bisa terjadi  antara bahasa yang masih dalam satu kerabat maupun bahasa yang tidak satu kerabat. Interferensi antarbahasa sekeluarga disebut dengan penyusupan sekeluarga (internal interference) misalnya interferensi bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa. Sedangkan interferensi antarbahasa yang tidak sekeluarga disebut penyusupan bukan sekeluarga (external interference) misalnya bahasa interferensi bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia.
(2)    Interferensi ditinjau dari arah unsur serapan
Komponen interferensi terdiri atas tiga unsur yaitu bahasa sumber, bahasa penyerap, dan bahasa penerima. Setiap bahasa akan sangat mungkin untuk menjadi bahasa sumber maupun bahasa penerima.  Interferensi yang timbal balik seperti itu kita sebut dengan interferensi produktif. Di samping itu, ada pula bahasa yang hanya berkedudukan sebagai bahasa sumber terhadap bahasa lain atau interferensi sepihak. Interferensi yang seperti ini  disebut interferensi reseptif.
(3)    Interferensi ditinjau dari segi pelaku
Interferensi ditinjau dari segi pelakunya bersifat perorangan dan dianggap sebagai gejala penyimpangan dalam kehidupan  bahasa karena unsur serapan itu sesungguhnya telah ada dalam bahasa penerima. Interferensi produktif atau reseptif pada pelaku bahasa perorangan disebut interferensi perlakuan atau performance interference. Interferensi perlakuan pada awal orang belajar bahasa asing  disebut interferensi perkembangan atau interferensi belajar.
(4)    Interferensi ditinjau dari segi bidang.
Pengaruh interferensi terhadap bahasa penarima bisa merasuk ke dalam secara intensif dan bisa pula hanya di permukaan yang tidak menyebabkan sistem bahasa penerima terpengaruh. Bila interferensi itu sampai menimbulkan perubahan dalan sistem bahasa penerima disebut interferensi sistemik. Interferensi dapat terjadi pada berbagai aspek kebahasaan antara lain, pada sistem tata bunyi (fonologi), tata bentukan kata (morfologi), tata kalimat (sintaksis), kosakata (leksikon), dan bisa pula menyusup pada bidang tata makna (semantik).
Dennes dkk. (1994:17) yang mengacu pada pendapat Weinrich mengidentifikasi interferensi atas empat, yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut.
(1)    Peminjaman unsur suatu bahasa ke dalam tuturan bahasa lain dan dalam peminjaman itu ada aspek tertentu yang ditransfer. Hubungan antar bahasa yang unsur-unsurnya dipinjam disebut bahasa sumber, sedangkan bahasa penerima disebut bahasa peminjam.
(2)    Penggantian unsur suatu bahasa dengan padanannya ke dalam suatu tuturan bahasa yang lain. Dalam penggantian itu ada aspek dari suatu bahasa disalin ke dalam bahasa lain yang disebut substitusi.
(3)    Penerapan hubungan ketatabahasaan bahasa A ke dalam morfem bahasa B juga dalam kaitan tuturan bahasa B., atau pengingkaran hubungan ketatabahasaan bahasa B yang tidak ada modelnya dalam bahasa A.
(4)    Perubahan fungsi morfem melalui jati diri antara suatu morfem bahasa B tertentu dengan morfem bahasa A tertentu, yang menimbulkan perubahan fungsi morfem bahasa B berdasarkan satu model tata bahasa A
Menurut Chair interferensi terdiri atas dua macam, yaitu (1) interferensi reseptif, yakni berupa penggunaan bahasa B dengan diresapi unsur-unsur bahasa A, dan (2) interferensi produktif, yakni wujudnya berupa penggunaan bahasa A tetapi dengan unsur bahasa B.
Jendra (1991:108) membedakan interferensi menjadi lima aspek kebahasaan, antara lain
  1. interferensi pada bidang sistem tata bunyi (fonologi)
  2. interferensi pada tata bentukan kata (morfologi)
  3. interferensi pada tata kalimat (sintaksis)
  4. interferensi pada kosakata (leksikon)
  5. interferensi pada bidang tata makna (semantik)
Menurut Jendra (1991:113) interferensi pada bidang semantik masih dapat dibedakan lagi menjadi tiga bagian, yakni
(1)    Interferensi semantik perluasan (semantic expansive interference). Istilah ini dipakai apabila terjadi peminjaman konsep budaya dan juga nama unsur bahasa sumber.
(2)    Interferensi semantik penambahan (semantic aditif interference). Interferensi ini terjadi apabila muncul bentuk baru berdampingan dengan bentuk lama, tetapi bentuk baru bergeser dari makna semula.
(3)    Interferensi semantik penggantian (replasive semantic interference). Interferensi ini terjadi apabila muncul makna konsep baru sebagai pengganti konsep lama.
Yusuf (1994:71) membagi peristiwa interferensi menjadi empat jenis, yaitu
(1)    Interferensi Bunyi (phonic interference)
Interferensi ini terjadi karena pemakaian bunyi satu bahasa ke dalam bahasa yang lain dalam tuturan dwibahasawan.
(2)    Interferensi tata bahasa (grammatical interference)
Interferensi ini terjadi apabila dwibahasawan mengidentifikasi morfem atau tata bahasa pertama kemudian menggunakannya dalam bahasa keduanya.
(3)    Interferensi kosakata (lexical interference)
Interferensi ini bisa terjadi  dalam berbagai bentuk, misalnya terjadi pada kata dasar, tingkat kelompok kata maupun frasa.
(4)    Interferensi tata makna (semantic interference)
Interferensi ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu (a) interferensi perluasan makna, (b) interferensi penambahan makna, dan (c) interferensi penggantian makna.
Huda (1981: 17) yang mengacu pada pendapat Weinrich mengidentifikasi interferensi atas empat macam, yaitu
(1)    mentransfer unsur suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain,
(2)    adanya perubahan fungsi dan kategori yang disebabkan oleh adanya pemindahan,
(3)    penerapan unsur-unsur bahasa kedua yang berbeda dengan bahasa pertama,
(4)    kurang diperhatikannya struktur bahasa kedua mengingat tidak ada equivalensi dalam bahasa pertama.

2.1.2 Faktor Penyebab Terjadinya Interferensi
Selain kontak bahasa, menurut Weinrich (1970:64-65) ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya interferensi, antara lain:
(1) Kedwibahasaan peserta tutur
Kedwibahasaan peserta tutur merupakan pangkal terjadinya interferensi dan berbagai pengaruh lain dari bahasa sumber, baik dari bahasa daerah maupun bahasa asing. Hal itu disebabkan terjadinya kontak bahasa dalam diri penutur yang dwibahasawan, yang pada akhirnya dapat menimbulkan interferensi.
2)  Tipisnya kesetiaan pemakai bahasa penerima
Tipisnya kesetiaan dwibahasawan terhadap bahasa penerima cenderung akan menimbulkan sikap kurang positif. Hal itu menyebabkan pengabaian kaidah bahasa penerima yang digunakan dan pengambilan unsur-unsur bahasa sumber  yang dikuasai penutur secara tidak terkontrol. Sebagai akibatnya akan muncul bentuk interferensi dalam bahasa penerima yang sedang digunakan oleh penutur, baik secara lisan maupun tertulis.
3)      Tidak cukupnya kosakata bahasa penerima
Perbendaharaan kata suatu bahasa pada umumnya hanya terbatas pada pengungkapan berbagai segi kehidupan yang terdapat di dalam masyarakat yang bersangkutan, serta segi kehidupan lain yang dikenalnya. Oleh karena itu, jika masyarakat itu bergaul dengan segi kehidupan baru dari luar, akan bertemu dan mengenal konsep baru yang dipandang perlu. Karena mereka belum mempunyai kosakata untuk mengungkapkan konsep baru tersebut, lalu mereka menggunakan kosakata bahasa sumber untuk mengungkapkannya, secara sengaja pemakai bahasa akan menyerap atau meminjam kosakata bahasa sumber untuk mengungkapkan konsep baru tersebut. Faktor ketidak cukupan atau terbatasnya kosakata bahasa penerima untuk mengungkapkan suatu konsep baru dalam bahasa sumber, cenderung akan menimbulkan terjadinya interferensi.
Interferensi yang timbul karena kebutuhan kosakata baru, cenderung dilakukan secara sengaja oleh pemakai bahasa. Kosakata baru yang diperoleh dari interferensi ini cenderung akan lebih cepat terintegrasi karena unsur tersebut memang sangat diperlukan untuk memperkaya perbendaharaan kata bahasa penerima.
4) Menghilangnya kata-kata yang jarang digunakan
Kosakata dalam suatu bahasa yang jarang dipergunakan cenderung akan menghilang. Jika hal ini terjadi, berarti kosakata bahasa yang bersangkutan akan menjadi kian menipis. Apabila bahasa tersebut dihadapkan pada konsep baru dari luar, di satu pihak akan memanfaatkan kembali kosakata yang sudah menghilang dan di lain pihak akan menyebabkan terjadinya interferensi, yaitu penyerapan atau peminjaman kosakata baru dari bahasa sumber.
Interferensi yang disebabkan oleh menghilangnya kosakata yang jarang dipergunakan tersebut akan berakibat seperti interferensi yang disebabkan tidak cukupnya kosakata bahasa penerima, yaitu unsur serapan atau unsur pinjaman itu akan lebih cepat diintegrasikan karena unsur tersebut dibutuhkan dalam bahasa penerima.
5) Kebutuhan akan sinonim
Sinonim dalam pemakaian bahasa mempunyai fungsi yang cukup penting, yakni sebagai variasi dalam pemilihan kata untuk menghindari pemakaian kata yang sama secara berulang-ulang yang bisa mengakibatkan kejenuhan. Dengan adanya kata yang bersinonim, pemakai bahasa dapat mempunyai variasi kosakata yang dipergunakan untuk menghindari pemakaian kata secara berulang-ulang.
Karena adanya sinonim ini cukup penting, pemakai bahasa sering melakukan interferensi dalam bentuk penyerapan atau peminjaman kosakata baru dari bahasa sumber untuk memberikan sinonim pada bahasa penerima. Dengan demikian, kebutuhan kosakata yang bersinonim dapat mendorong timbulnya interferensi.
6)   Prestise bahasa sumber dan gaya bahasa
Prestise bahasa sumber dapat mendorong timbulnya interferensi, karena pemakai bahasa ingin menunjukkan bahwa dirinya dapat menguasai bahasa yang dianggap berprestise tersebut.  Prestise bahasa sumber dapat juga berkaitan dengan keinginan pemakai bahasa untuk bergaya dalam berbahasa. Interferensi yang timbul karena faktor itu biasanya berupa pamakaian unsur-unsur bahasa sumber pada bahasa penerima yang dipergunakan
7). Terbawanya kebiasaan dalam bahasa ibu
Terbawanya kebiasaan dalam bahasa ibu pada bahasa penerima yang sedang digunakan, pada umumnya terjadi karena kurangnya kontrol bahasa dan kurangnya penguasaan terhadap bahasa penerima. Hal ini dapat  terjadi pada dwibahasawan yang sedang belajar bahasa kedua, baik bahasa nasional maupun bahasa asing.  Dalam penggunaan bahasa kedua, pemakai bahasa kadang-kadang kurang kontrol. Karena kedwibahasaan mereka itulah kadang-kadang pada saat berbicara atau menulis dengan menggunakan bahasa kedua yang muncul adalah kosakata bahasa ibu yang sudah lebih dulu dikenal dan dikuasainya.

2.2  Integrasi
Integrasi adalah penggunaan unsur bahasa lain secara sistematis seolah-olah merupakan bagian dari suatu bahasa tanpa disadari oleh pemakainya (Kridalaksana: 1993:84). Salah satu proses integrasi adalah peminjaman kata dari satu bahasa ke dalam bahasa lain.
Oleh sebagian sosiolinguis, masalah integrasi merupakan masalah yang sulit dibedakan dari interferensi. Chair dan Agustina (1995:168) mengacu pada pendapat Mackey, menyatakan bahwa  integrasi adalah unsur-unsur bahasa lain yang digunakan dalam bahasa tertentu dan dianggap sudah menjadi bagian dari bahasa tersebut. Tidak dianggap lagi sebagai unsur pinjaman atau pungutan.
Mackey dalam Mustakim (1994:13) mengungkapkan bahwa masalah interferensi adalah nisbi, tetapi kenisbiannya itu dapat diukur. Menurutnya, interferensi dapat ditetapkan berdasarkan penemuan adanya integrasi, yang juga bersifat nisbi. Dalam hal ini, kenisbian integrasi itu dapat diketahui dari suatu bentuk leksikal. Misalnya, sejumlah orang menganggap bahwa bentuk leksikal tertentu sudah terintegrasi, tetapi sejumlah orang yang lain menganggap belum.
Senada dengan itu, Weinrich (1970:11) mengemukakan bahwa jika suatu unsur interferensi terjadi secara berulang-ulang dalam tuturan seseorang atau sekelompok orang sehingga semakin lama unsur itu  semakin diterima sebagai bagian dari sistem bahasa mereka, maka terjadilah integrasi. Dari pengertian ini dapat diartikan bahwa interferensi masih dalam proses, sedangkan integrasi sudah menetap dan diakui sebagai bagian dari bahasa penerima.
Berkaitan dengan hal tersebut, ukuran yang digunakan untuk menentukan keintegrasian suatu unsur serapan adalah kamus. Dalam hal ini, jika suatu unsur serapan atau interferensi sudah dicantumkan dalam kamus bahasa penerima, dapat dikatakan unsur itu sudah terintegrasi. Sebaliknya, jika unsur tersebut belum tercantum dalam kamus bahasa penerima unsur itu belum terintegrasi.
Dalam proses integrasi unsur serapan itu telah disesuaikan dengan sistem atau kaidah bahasa penyerapnya, sehingga tidak terasa lagi keasingannya. Penyesuaian bentuk unsur integrasi itu tidak selamanya terjadi begitu cepat, bisa saja berlangsung agak lama. Proses penyesuaian unsur integrasi akan lebih cepat apabila bahasa sumber dengan bahasa penyerapnya memiliki banyak persamaan dibandingkan unsur serapan yang berasal dari bahasa sumber yang sangat berbeda sistem dan kaidah-kaidahnya. Cepat lambatnya unsur serapan itu menyesuaikan diri terikat pula pada segi kadar kebutuhan bahasa penyerapnya. Sikap penutur bahasa penyerap merupakan faktor kunci dalam kaitan penyesuaian bentuk serapan itu. Jangka waktu  penyesuaian unsur integrasi tergantung pada tiga faktor antara lain (1) perbedaan dan persamaan sistem bahasa sumber dengan bahasa penyerapnya, (2) unsur serapan itu sendiri, apakah sangat dibutuhkan atau hanya sekedarnya sebagai pelengkap, dan (3) sikap bahasa pada penutur bahasa penyerapnya.

3. Penutup
Meskipun berbeda, antara interferensi dan integrasi sebenarnya memiliki sisi yang sama, yaitu bahwa keduanya merupakan gejala bahasa yang terjadi sebagai akibat adanya kontak bahasa. Integrasi dan interferensi memiliki persamaan -persamaan antara lain bahwa baik gejala interferensi maupun integrasi bisa terjadi pada keempat tataran kebahasaan yaitu fonologi, gramatika, kosakata dan semantik.

Daftar Pustaka
Alwasilah, A Chaedar. 1985. Beberapa Madhab dan dikotomi Teori Linguistik. Bandung: Angkasa.
Ardiana, Leo Idra. 1990. Analisis kesalahan Berbahasa. FPBS IKIP Surabaya.
Bawa, I Wayan. 1981. “Pemakaian Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar”. Denpasar: Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 1995. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Huda, Nuril dkk. 1981. Interferensi Bahasa Madura Terhadap Bahasa Indonesia Tulis Murid Sekolah Dasar Jawa Timur. Jakarta. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Hayi, Abdul dkk. 1985. Interferensi Gramatika Bahasa Indonesia dalam Bahasa Jawa. Jakarta. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Jendra. I Wayan. 1991. Dasar-Dasar Sosiolinguistik. Denpasar: Ikayana.
Kridalaksana, Harimurti.1998. Introduction to Word Formation and Word Classes. Jakarta. Universitas Indonesia.
Nababan. P.W.J. 1984. Sosiolingustik. Jakarta: Gramedia.
Suwito. 1985. Pengantar Awal Sosiolinguistik: Teori dan Problema. Surakarta: Henary Cipta.

law

kp

mboah ah

Template by:

Free Blog Templates