Blogger templates

Kamis, 07 Juni 2012

شعر محمد مغز اليسرى

  محمد مغز اليسرى

109296
البحر الرَّمل
"فاعلاتن فاعلاتن # فاعلاتن فاعلاتن"
" إسْمَحِيْ لِيْ ياَ سُرُوْرِيْ
لَحْظَةً وَقْتً لِنَضْركْ "
" حَالِيًا قََدْ شَعرْْتُ
أشْعُرُ الْحُبَّ الْعُلى "
" كُنْتُ وُلْيَ الْحُبِّ لَكْ
أَجْعَلُ الصَّوَابَ لَكْ "
Ø Penjelasan:
عروضه
ضربه
حشو
ياَ سُرُوْرِيْ
صحيح
تً لِنَضْركْ
صحيح
إسْمَحِيْ لِيْ /لَحْظَةً وَقْ
صحيح
قََدْ شَعرْْتُ
صحيح
بَ الْعُلى
محذوف
حَالِياً/أشْعُرُ الْحُبْ
محذوف/صحيح
حُبِّ لَكْ
محذوف
وَابَ لَكْ
محذوف
كُنْتُ وُلْيَ الْ/أَجْعَلُ الصَّ
صحيح/ الكاف

Senin, 04 Juni 2012

PERAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB TERHADAP PEMAHAMAN PLURALISME DAN RADIKALISME AGAMA DI INDONESIA

1.      Pendahuluan
Bangsa Indonesia adalah bangsa besar, bangsa yang berdiri di atas dasar-dasar kemasyarakatan yang kaya dan majemuk, baik dari sisi etnis, agama, ras, dan bahasa, adat istiadat maupun kebudayaan. Kemajemukan itu merupakan kenyataan sosiologis dan kultural yang tidak mungkin ditolak, karena ia menjadi ciri paling khas dari eksistensibangsa Indonesia yang telah berakar dalam sejarah masyarakat.
Dinamapun kenyataan pluralisme memang menghadirkan wajah ganda. Satu sisi pluralisme atau kemajemukan dapat menjadi sumber kerawanan nasionalberupa disintegrasi bangsa bahkan perpecahan. Pada sisi yang lain, kemajemukan bangsa adalah aset nasional yang potensial bagi pengembangan kehidupan demokrasi bangsa dan pemantapan persatuan nasional yang berlandaskan semangat persaudaraan yang otentik.[1]
Oleh karena  itu eksistensi kemajemukan harus dipandang secara optimis dalam kerangka menumbuhkembangkankehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih terbuka dan demokratis. Cara pandang yang optimis terhadap masalah kemajemukan bangsa akan menegaskan dua hal: pertama, kesungguhan dan konsistensi untuk menjaga eksistensi kemajemukan. Artinya kemajemukan sebagai sebuah realitas tidak boleh dipaksakan menjadi seragam atau tunggal, melainkan dibiarkan untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan jatidiri masing-masing. Kedua, kemajemukan itu harus dikelola secara tepat agar kondusif bagi pengembangan tata kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih terbuka dan demokratis.[2] 
Dalam hubungan antar umat beragama, trauma sejarah dan hambatan psikologis masih berkembang dikalangan tokoh dan umat beragama sendiri, sehingga keberhasilan upaya perdamaian pasca konflik seperti Malino di Poso dan Maluku tidak semudah seperti yang diharapkan. Salah satu hambatan itu –yang sering kemudian secara sengaja atau tidak sengaja menjadi konflik ideologis dan mempunyai dampak politik –adalah masih berkembangnya pola pemahaman keagamaan yang bersifat harfiyyah, tekstual, dan parsial dalam melihat eksistensi agama-agama lain. Misalnya, banyak istilah dan idiom seperti jihad dan kafir dalam kitab keagamaan sering dipakai menjustifikasi kepentingan identitas kelompok untuk bertahan dari atau melawan kelompok lain sehingga terjadi "pemaksaan penafsiran". Ayat-ayat al-Qur'an ditafsirkan secara terpisah, serta "dicabut" dari konteks historis (asbab nuzul dan situasi sosio kultural)  dan hubungan redaksi antar ayat disekitarnya  (munasabat al-ayat). Padahal, penafsiran a-historis dan a-kontekstual mempermudah terjadinya kontradiksi dalam memahami kitab suci seperti al-Qur'an.[3]
Oleh karena hampir 80% penduduk Indonesia beragama Islam, maka tentulah umat islam mempunyai peranan yang cukup signifikan dalam masalah pluralisme ataupun radikalisme agama.
Setiap agama mempunyai kitab suci yang dijadikan acuan dalam bersikap dan bertindak, termasuk Islam yang menjadikan al-Qur'an dan al-Hadits sebagai pedoman hidup, oleh karena kedua sumber ajaran tersebut menggunakan bahasa Arab, maka peran pendidikan bahasa Arab dirasa sangat penting sebagai penghantar untuk memahami secara tepat dan bijak tentang isi ajaran kedua sumber tersebut.

2.      Rumusan Masalah
Sesuai dengan uraian pada pendahuluan diatas, maka penulis mencoba mengetengahkan permasalahan yang berhubungan dengan moralitas bangsa dengan rumusan masalah sebagai berikut:
“Apa peran pendidikan bahasa Arab dalam pemahaman terhadap pluralisme dan radikalisme agama di Indonesia?”

3.      Pembahasan
Islam and Arabic Language are two different entities that could not be separated. The relations between  the two could be likened as body and spirit. Muslim concern to Arabic is one of the key factors that would strengthen Islam, and hence Muslims' disregard to it would weaken Islam.

Bahasa Arab dan agama Islam adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya ibarat ruh dan jasad. Perhatian terhadap bahasa Arab merupakan salah satu faktor penguat bagi agama Islam, dan ketidak pedulian terhadap bahasa Arab merupakan faktor yang dapat memperlemah agama Islam.

إن اللغة العربية لغة مهمة عند المسلمين إذ أنها لغة القرأن الكريم والأحاديث الشريفة . قال الله تعالى: (إنا أنزلناه قرأنا عربيا لعلكم تعقلون) وقال: (كتاب فصلت أياته فرأنا عربيا لقوم يعقلون) وقال أيضا: (وإنه لتنزيل رب العالمين نزل به الروح الأمين على قلبك لتكون من المنذرين بلسان عربي مبين). فمع نزول القرأن باللغة العربية إرتفع شأنها وزاد الإهتمام بها لخدمة الدين الإسلامي ولغرض فهم القرأن الكريم المنزل بها.[4]

Bahasa Arab merupakan bahasa yang sangat penting bagi umat Islam, hal ini dikarenakan bahasa Arab adalah bahasa al-Qur'an dan al-Hadits. Dalam al-Qur'an Allah berfirman:(sesungguhnya Aku Allah menurunkan al-Qur'an dengan bahasa Arab supaya kalian semua berfikir), (kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui), (dan sesungguhnya al-Qur'an ini diturunkan oleh tuhan semesta alam, Dia dibawa turun oleh Arruhul Amin (jibril), kedalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang diantara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas). Oleh karena al-Qur'an diturunkan dengan bahasa Arab, maka dirasa sangatlah penting guna memahami isi kandungan al-Qur'an yang memang diturunkan menggunakan bahasa Arab.
Ketika kita berbicara tentang agama, disitu terdapat dua pengertian penting yang terlebih dahulu harus dijelaskan. Pertama, agama sebagai suatu doktrin dan ajaran yang termuat dalam kitab-kitab suci, dan kedua, agama serbagai aktualisasi dari doktrin tersebut yang terdapat dalam sejarah. Doktrin-doktrin agama bersifat ideal. Ia menghendaki para pemeluknya untuk mengamalkan doktrin-doktrin tersebutdalam bentuknya yang paling baik. Namun dalam kenyataannya, sering kali pengamalan tersebut jauh dari bentuk ideal yang dikehendaki agama tersebut. Karenanya, agama acapkali menampakkan diri sebagai sesuatu yang berwajah ganda, dalam arti bahwa, wujud dari pengamalan ajaran suatu agama berbeda jauh dari ajaran yang sebenarnya diinginkan oleh agama itu sendiri. Semua agama, misalnya, menyerukan perdamaian, persatuan, dan persaudaraan. Tetapi pada tataran pengamalan ia menampakkan diri sebagai kekuatan yang garang, beringas, penyebar konflik, bahkan tak jarang menimbulkan peperangan. Wajah ganda tersebut terlihat, pertama-tama dalam doktrin-doktrin agama itu sendiri; yakni seruan menuju keselamatan yang dibarengi dengan kewajiban untuk mengajak orang lain menuju keselamatan tersebut. Setiap agama memiliki kedua sisi tersebut, dan dari sisi yang disebut terkemudian itulah lazimnya, konflik dan kekerasan terjadi. Singkatnya, agama menjanjikan perdamaian dan menyerukan keselamatan, tapi pada saat yang sama sering menebar kekerasan. Sesekali ia dapat merupakan faktor pemersatu, dan pada kali lain ia dapat mencabik-cabik persatuan yang ia anjurkan sendiri.[5]    
Ternyata sejak zaman dahulu umat memerlukan pemecahan. Selam berabad-abad sejarahinteraksi antar umat beragama lebih banyak diwarnai oleh kecurigaan dan permusuhan dengan dalih "demi mencapai ridho Tuhan dan demi menyebarkan kabar gembira yang bersumber dari yang Maha Kuasa."
Fenomena ini kelihatannya berlanjut sampai masa kini. Di Bosnia, umat-umat ortodoks, katolik, dan Islam saling membunuh. Di Irlandia utara, umat katolik dan umat protestan saling bermusuhan. Di Timur Tengah, ketiga cucu nabi Ibrahim –umat yahudi, kristen, dan Islam- saling menggunakan bahasa kekerasan. Di Sudan, senjata adalah alat komunikasi antara umat Islam dan umat kristen. Di Kashmir, pengikut agama hindu dan umat Muhammad saling bersitegang. Di Srilanka, kaum budha dan kelompok hindu bercakar-cakaran. Di Armenia-Azerbaijan, umat kristen dan umat Islam saling berlomba untuk berkuasa dengan cara destruktif. Kesemuanya ini terjadi di hadapan mata kita semua. Yang sangat menyayat hati adalahagama dijadikan elemen utamadalam mesin penghancuran manusia –suatu kenyataan yang sangat bertentangan dengan ajaran semua agama di atas permukaan bumi ini.
Untuk mencari pemecahan atas segala sikap yang destruktif ini, banyak tawaran –teoritis maupun praktis- dikemukakan oleh mereka yang peduli terhadap kerukunan antar agama. Antara lain, dan yang paling keras gemanya adalah upaya untuk menciptakan suasana dialog antar umat beragama. Sudah saatnya umat beragama meninggalkan era monolog untuk berabjak kepada era dialog- meminjam istilah Leonard Swidler, pendiri Journal Ecumenical Studies, dan Profesor pemikiran katolik di Universitas Temple.
Dengan dialog, umat beragama mempersiapkan diri untuk melakukan diskusi dengan umat agama lain yang berbeda pandangan tentang kenyataan hidup. Dialog tersebut dimaksudkan untuk saling mngenal dan saling menimba pengetahuan baru tentang agama mitra dialog. Dialog tersebut dengan sendirinya akan memperkaya wawasan kedua pihak dalam rangka mencari poersamaan-persamaan yang dapat dijadikan landasan hidup rukun dalam suatu masyarakat.[6]
Menurut Prof. Dr. Abdul Aziz Sachedina, guru besar studi agama di Universitas Virginia, Pluralisme adalah "pondasi kehidupan bagi agama-agama" (ashl al-hayat bayna al-adyan). Kita bisa melacak ayat-ayat al-Qur'an yang mendukung pluralisme ini sebagai satu rahasia dari lautan rahasia Allah. Salah satunya, jika Tuhanmu menghendaki maka kalian akan dijadikan umat satu. Ternyata Allah tidak berkehendak untuk menyatukan umat manusia. Nah, keragaman agama disini yang disinyalir ayat tadi merupakan rahasia dan kehendak Allah. Dan p;uralisme sebagai dasar kehidupan semua agama mengajak kita membuka dan memahami rahasia Allah itu. Keragaman agama sebagai rahasia Allah meliputi juga agama-agama lain  yang biasa disebut "agama-agama ibrahim". Pluralisme sendiri mengakui adanya tradisi iman dan keberagamaan yang berbeda antara satu agama dengan agama lainnya.
pengakuan terhadap pluralisme agama dalam sebuah komunitas sosial menjanjikan dikedepankannya prinsip inklusivitas (keterbukaan) –suatu prinsip yang mengutamakan akomodasi dan bukan konflik- diantara mereka. Sebab, pada dasarnya masing-masing agama mempunyai berbagai klaim kebenaran yang ingin ditegakkan lurus, sedangkan realitas masyarakat yang ada terbukti heterogen secara kultural dan religius. Oleh karena itu, inklusivitas menjadi penting sebagai jalan menuju tumbuhnya kepekaan terhadap berbagai kemungkinan unik yang bisamemperkaya usaha manusia dalam mencari kesejahteraan spiritual dan moral. Realitas pluralitas yang dapat mendorong ke arah kerjasama dan keterbukaan itu, secara jelas telah diserukan Allah dalam Q.S al-Hujurat ayat 14. Dalam ayat itu, tercermin bahwa pluralitas adalah sebuah kebijakan Tuhan agar manusia saling mengenal dan membuka diri untuk bekerja sama.[7]
Segi sosial-historis persoalan kerukunan umat beragama adalah lebih sulit karena menyangkut hal-hal yang mungkin sensitif. Kesulitannya adalah, banyak orang berpendapat bahwa segi sosial-historis itu tidak perlu diperkatakan. Tapi, juga sudah diisyaratkan , membiarkan hal itu terpendam akan menimbulkan bahayanya sendiri, yaitu suatu bahaya yang biasa timbul oleh adanya opent up feelingso. Tapi karena berbagai hambatan dan keterbatasan, saya hanya akan membatasi diri hanya kepada tinjauan dari segi ajaran, jadi merupakan suatu pendekatan normatif. Segi sosial-historis, jika kita ingin lebih dari pada sekedar mengangkat (rahasia umum) dan bahkan mungkin hanya (desas-desus), menuntut penelitian yang luas dan mendalam. Dan hal itu ada diluar kapasitas tulisan pendek ini.[8]
Mungkin karena meluasnya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh mereka yang menamakan dirinya orang-orang yang memegang teguh ajaran agama, para pakar kemudian menganalisis hubungan antaragama (ideologi) sebagai dipenuhi teror atau kekerasan.
Tidak sulit untuk membuktikan hal ini apabila kita menelusuri fenomena kekerasan dalam perjalanan sejarah kehidupan keagamaan. Lumuran darah para syuhada korban tangan ekstrimis dari berbagai kelompok keagamaan telah mewarnai lembaran sejarah. Pada masa formatif Islam, tiga dari empat khulafa'ur rasyidun (para pemimpin penerus nabi Muhammad SAW.) terbunuh oleh tangan-tangan kelompok ekstrimis. Khalifah keempat, sayyidina Ali bin Abi Thalib, dibunuh oleh kelompok khawarij ekstrimis yang membenarkan tindakan kekerasan dalam mengubah status quo. Sadar akan ekstrimitas pandangan keagamaan kelompok khawarij yang merencanakan pembunuhan terhadap dirinya, dan didorong oleh kualitas takwanya kepada Allah, sayyidina Ali sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, sempat berpesan untuk berlaku adil terhadap pelaku pembunuhan tersebut.
Dalam dunia kristen lumuran darah akibat ekstrimitas pemahaman keagamaanpun tidak kalah banyaknya. Eksekusi yang dilancarkan mainstream kristen pada kelompoknya yang berbeda pendapat dari skte lainnya yang lazim dinamakankaum sempalan (heretic) juga mewarnai sejarahnya. Gelombang Krusada (perang salib) yang pertamakali dikumandangkan oleh Sri Paus UrbanII pada abad 11 bukan saja melancarkan kekerasan terhadap umat Yahudi dan Islam (yang dinilai musuh), kelompok Kristen Ortodoks Timur pun ikut terbabat. Ini semua dilancarkan atasnama Isa a. s pecinta damai dan penganjur kasih sayang.
Para pelaku ekstrimis ini pada umumnya didorong oleh keyakinan keagamaan, bahwa apa yang mereka lakukan adalah sejalan dengan perintah Tuhan yang tercantum dalam teks-teks suci.[9]
Paham pluralisme agama (dalam ilmu sosial) sesungguhnya merupakan kehendak Allah SWT. Dalam Islam sendiri secara normatif mengakui hak dan keberadaan pengikut agama lain (QS. 2:256, QS. 109:6). Secara otomatis inilah prinsip dasar doktrin Islam mengenai pluralisme sebagai kehendak Allah SWT. Hingga sudah sewajarnya umat islam menerima eksistensi pluralisme agama (dalam ilmu sosial) secara positif sebagai sebuah aturan dan kehendak Allah SWT yang tidak bisa dihindari.
Pluralisme adalah fakta sosial yang selalu ada dan telah menghidupi agama-agama. Walau demikian, dalam menghadapi dan menanggapi kenyataan adanya berbagai agama yang demikian pluralistik itu, agaknya setiap umat beragama tidaklah monolitik. Mereka cenderung menempuh cara dan tanggapan yang berbeda-beda, yang jika dikategorisasikan terbelah menjadi dua kelompok yang saling berhadap-hadapan.
Pertama, kelompok yang menolak secara mutlak gagasan pluralisme agama. Mereka biasanya disebut sebagai kelompok eksklusivis. Dalam memandang agama orang lain, kelompok ini seringkali menggunakan standar-standar penilaian yang dibuatnya sendiri untuk memberikan vonis dan menghakimi agama lain. Secara teologis, misalnya, mereka beranggapan bahwa hanya agamanyalah yang paling otentik berasal dari Tuhan, sementara agama yang lain tak lebih dari sebuah konstruksi manusia, atau mungkin juga berasal dari Tuhan tapi telah mengalami perombakan dan pemalsuan oleh umatnya sendiri. Mereka memiliki kecenderungan membenarkan agamanya, sambil menyalahkan yang lain. Memuji agamanya sendiri seraya mengejek agama lain. Agama orang lain dipandang bukan sebagai jalan keselamatan paripurna. Mereka mendasarkan pandangan-pandangannya itu pada sejumlah ayat di dalam al-Qur'an. Misalnya, QS. Ali Imran: 85, 19, QS. Al-Maidah: 3, QS. An-Nisa':144.
Kedua, kelompok yang menerima pluralisme agama sebagai kenyataan yang tak terhindarkan. Kelompok ini biasanya berpandangan bahwa agama semua nabi adalah satu. Mereka menganut pendangan tentang adanya titik-titik persamaan sebagai benang merah yang mempersambungkan seluruh ketentuan doktrinal yang dibawa oleh setiap nabi. Bagi kelompok kedua ini cukup jelas bahwa yang membedakan ajaran masing-masing adalah dimensi-dimensi yang bersifat teknis-oprasional buakn substansial-esensial, seperti tentang mekanisme atau tatacara ritus peridbadatan dan sebagainya. Terdapat ayat yang menjadi menu favorit dikalangan kelompok kedua ini. Misalnya, QS. Alkafirun: 6, QS. Al-Baqarah: 256, QS. Al-Maidah: 69, QS. Al-An'am: 108.
Karenanya dalam menyikapi dua kelompok yang berbeda pendapat di atas, kiranya diperlukan kearifan dalam melakukan pembacaan (penafsiran) terhadap teks-teks al-Qur'an.  Sehingga klaim-klaim kebenaran tidak hanya dimonopoli kelompok-kelompok tertentu.[10]
Di bumi Indonesia, apa yang diharapkan dari pemuka agama tidak lain adalah mencegah timbulnya penafsiran-penafsiran keagamaan yang dapat mengacu ke arah radikalisme dan kekerasan. Dalam lingkungan Islam, di atas pundak pemuka agama terletak kewajiban untuk mensosialisasikan konsep moderasi yang menghindari sikap ekstrim atau berlebihan dalam kedua sisinya, guna menciptakan masyarakat penengah dan adil, atau dalam bahasa al-Qur'an ummatan wasathan (QS 2: 143).[11]
Tanggung jawab bukan hanya di atas pundak para pemuka agama, akan tetapi juga pada para generasi penerus agar dapat memahami dan menafsirkan al-Qur'an dengan lebih bijak dan arif, tanpa menafikan sisi historis (asbabun nuzul) dari al-Qur'an juga sisi historis (asbabul wurud) dari hadits yang akan digunakan sebagai pedoman.
Untuk mencapai kesemuanya itu, pendidikan bahasa Arab sangatlah berperan penting, yaitu sebagai kunci pembuka pintu wawasan dalam memahami dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an serta hadits-hadits Nabi. Dengan pendidikan bahasa Arablah, kita dapat memahami ilmu-ilmu yang mendukung untuk memahami dan menafsirkan al-Qur'an serta hadits. Karena dalam pendidikan bahasa Arab terdapat maharat-maharat yang dapat menunjang generasi penerus untuk mempelajari ilmu-ilmu penunjang dalam menafsirkan al-Qur'an dan memahami hadits, sehingga dapat lebih bijak dan arif.





4.      Kesimpulan
Pendidikan bahasa Arab mempunyai peranan yang sangat penting guna mencetak generasi-generasi yang dapat memahami pluralisme yang memang tidak terelakkan dalam kehidupan sosial-keagamaan. Karena dengan pendidikan bahasa Arablah, kita dapat membuka cakrawala wawasan pemahaman al-Qur'an dan hadits, sehingga dalam memahami dan mensikapi pluralisme agama tidak berlebihan, dalam artian tidak terlalu ekstrim menolak adanya pluralisme agama (radikalisme, eksklusivisme) dan juga tidak memahami secara bebas sebebas-bebasnya sehingga mengakibatkan nihilisme, free value.

5.      Daftar Pustaka
Ahmad Fathani, dkk, Berguru Kepada Bapak Bangsa, PP Gerakan Pemuda Ansor, Jakarta, 1999
Alwi Shihab, Islam Inklusif, Mizan, Bandung, 1999
Fauzan al-Ansori, Melawan Konspirasi JIL,  Pustaka al-Furqan, Jakarta, 2003
Faisal Isma'il dkk, Aljami'ah Jurnal of Islamic Studies, IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Moh. Shofan, Jalan Ketiga Pemikiran Islam, IRciSoD, Jogjakarta, 2006


[1]Ahmad Fathani, dkk, Berguru Kepada Bapak Bangsa, PP Gerakan Pemuda Ansor, Jakarta, 1999, hal:181
[2] Ibid,hal:181
[3] Fauzan al-Ansori, Melawan Konspirasi JIL,  Pustaka al-Furqan, Jakarta, 2003, hal: 68-69
[4] Faisal Isma'il dkk, Aljami'ah Jurnal of Islamic Studies, IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, hal: 423-424
[5] Ibid,hal: 308-309
[6] Alwi Shihab, Islam Inklusif, Mizan, Bandung, 1999, hal: 40-41
[7] Moh. Shofan, Jalan Ketiga Pemikiran Islam, IRciSoD, Jogjakarta, 2006, hal: 56-57
[8] Op. Cit, Ahmad Fathani, dkk, hal: 169
[9] Op. Cit, Alwi Shihab, hal: 146-147
[10]  Op. Cit, Moh. Shofan, hal: 62-64
[11] Loc. Cit, Alwi Shihab, hal: 149

Selasa, 15 Mei 2012

علم البيان


علم البيان
التشبيه – الاستعارة – الكناية – المجاز المرسل

التشبيه :
أسلوب يدل على مشاركة أمر لأمر آخر في صفته الواضحة؛ ليكتسب الطرف الأول ( المشبه) من الطرف الثاني (المشبه به) قوته وجماله.
أو هو : إحداث علاقة بين طرفين من خلال جعل أحدهما - وهو الطرف الأوّل (المشبه)- مشابهاً للطرف الآخر، في صفة مشتركة بينهما .
مثل : محمد كالأسد في الشجاعة – البنت كالقمر في الجمال .
أركان التشبيه :
(1) مُشََّبه : وهو الموضوع المقصود بالوصف ؛ لبيان قوته أو جماله ، أو قبحه .
(2) مُشَبَّه به : وهو الشيء الذي جئنا به نموذجاً للمقارنة ؛ ليعطي للمشبه القوة أو الجمال ، أو القبح ، ويجب أن تكون الصفة فيه أوضح .
(3) ووجه الشبه : وهو الوصف الذي يُستخلص في الذهن من المقارنة بين المشبه و المشبه به، أو هو الصفة المشتركة بين الطرفين المشبه و المشبه به.
(4) وأداة التشبيه : هي الرابط بين الطرفين.
أدوات التشبيه
1 - قد تكون حرفاً ، كـ (الكاف - كأنَّ) .
2 - قد تكون اسماً ، كـ (مثل - شبه - نظير ... ) .
3 - قد تكون فعلاً ، كـ (يحاكي - يشبه – يماثل ...) .

محمد كـ الأسد في الشجاعة
مشبّه أداة تشبيه مشبّه به وجه الشبه

أنواع التشبيه

مفرد مركب
مفصل مجمل بليغ تمثيلي ضمني

(أ) أولاً : التشبيه المفرد : وهو تشبيه لفظ بلفظ .
أنواع التشبيه المفرد
1 – تشبيه مُفَصَّل : عندما نذكر الأركان الأربعة .
ôمثل : العلم كـالنور يهدي كل من طلبه
مشبّهأداة تشبيهمشبّه به وجه الشبه
2 – تشبيه مُجْمَل : وهو ما حُذِف منه وجه الشبه ، أو أداة التشبيه .
ô مثل : العلم كـالنور (حُذِف وجه الشبه )
ô العلم نور يهدي كل من طلبه . (حُذِفت أداة التشبيه )
3 – تشبيه بليغ : وهو ما حُذِف منه وجه الشبه و الأداة ، وبقي الطرفان الأساسيان المشبه و المشبه به .
ôمثل : الجهل موت والعلم حياة .
ô الصور التي يأتي عليها التشبيه البليغ :
أ – المبتدأ والخبر :
ôمثل : الحياة التي نعيشها كتاب مفتوح للأذكياء .
ب- المفعول المطلق :
ôمثل: تحلق طائراتنا في الجو تحليق النسور - مشى الجندي مشى الأسد
جـ- المضاف(المشبه به) والمضاف إليه(المشبه) :
ôمثل : كتاب الحياة - ذهب الأصيل على لُجَين الماء . الأصيل (وقت الغروب ) و اللجين (الفضة)
.. أي الأصيل كالذهب والماء كاللجين.
د- الحال وصاحبهـا :
ôمثل : هجم الجندي على العدو أسداً .
هـ- اسم إن وخبرها :
ô مثل : إنك شمس .
أركان التشبيه

الركنان الأساسيان في أركان التشبيه الأربعة هما: (المشبه والمشبه به ) ، وإذا حُذِفَ أحدهما أصبحت الصورة استعارة ؛ فالاستعارة تشبيه بليغ حذف أحد طرفيه .
- أما أداة التشبيه ووجه الشبه فهما ركنان ثانويان حذفهما يعطي التشبيه جمالاً أكثر وقوة .
(ب) ثانياً : التشبيه المركب
ô أنواع التشبيه المركب :
1 – تشبيه تمثيلي :
هو تشبيه صورة بصورة ووجه الشبه فيه صورة منتزعة من أشياء متعددة .
ôمثل : قول الله تعالى :
(مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ )(البقرة: من الآية261) .
شبه الله سبحانه وتعالى هيئة الذين ينفقون أموالهم في سبيل الله ابتغاء مرضاته ويعطفون على الفقراء و المساكين بهيئة الحبة التي أنبتت سبع سنابل في كل سنبلة مائة حبة ، والله سبحانه وتعالى يضاعف لمن يشاء .
ôو كقول علي الجارم في العروبة :
توحّد حتى صار قلباً تحوطه قلوب من العُرْب الكرام وأضلع
حيث شبه هيئة الشرق المتحد في الجامعة العربية يحيط به حب العرب وتأييدهم بهيئة القلب الذي تحيط به الضلوع .
ôقال تعالى في شأنِ اليهود :
(مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَاراً ...) (الجمعة:5).
حيث شبهت الآية حالة وهيئة اليهود الذين حُمَّلوا بالتوراة ثم لم يقوموا بها ولم يعملوا بما فيها بحالة الحمار الذي يحمل فوق ظهره أسفاراً (كتباً)، فهي بالنسبة إليه لا تعدو(لا تتجاوز) كونها ثقلاً يحمله .
2 – تشبيه ضمني :
وهو تشبيه خفي لا يأتي على الصورة المعهودة ولايُصَرح فيه بالمشبه و المشبه به ، بل يُفْهم ويُلْمح فيه التشبيه من مضمون الكلام ، ولذلك سُمّي بالتشبيه الضمني ، وغالباً ما يكون المشبه قضية أو ادعاء يحتاج للدليل أو البرهان ، ويكون المشبه به هو الدليل أو البرهان على صحة المعنى .
باختصار التشبيه الضمني قضية وهي (المشبه) ، والدليل على صحتها (المشبه به) .
ôمثل : قال المتنبي في الحكمة :
من يهُن يسهُل الهوان عليه مـا لجُـرحٍ بميّت إيـلامُ
ما سبق نلمح فيه التشبيه ولكنه تشبيه على غير المتعارف ، فهو يشبه الشخص الذي يقبل الذل دائماً ، وتهون عليه كرامته ، ولا يتألم لما يمسها ، بمثل حال الميت فلو جئت بسكين ورحت تقطع أجزاء من جسده ما تألم ولا صرخ ولا شكى ولا بكى ؛ لأنه فقد أحاسيس الحياة ، وبذلك يكون الشطر الثاني تشبيهاً ضمنياً ؛ لأنه جاء برهاناً ودليلاً على صحة مقولته في الشطر الأول.
ôقال ابن الرومي :
قَدْ يَشِيب الْفَتَى وَلَيْسَ عجيباً أَنْ يُرَى النَّورُ فِى الْقَضِيبِ الرَّطيبِ (النور : الزهر الأبيض- القضيب : الغصن)
يقول الشاعر : إن الشاب الصغير قد يشيب قبل أوان الشيب ، وهذا ليس بالأمر العجيب، وليدلل على صحة مقولته أتى لنا بالدليل و هو أن الغصن الغض الصغير الذي مازال ينمو قد يظهر فيه الزهر الأبيض، فهو لم يأْت بتشبيه صريح ولم يقل : إن الفتى وقد وخطه الشيب كالغصن الرطيب حين إزهاره ، ولكنه أتى بذلك ضمناً .
ملحوظة
التشبيه الضمني لا تذكر فيه أداة التشبيه أبداً ، بينما التشبيه التمثيلي غالباً تذكر فيه أداة التشبيه " مثل " .
ô سر جمال التشبيه: (التوضيح أو التشخيص أو التجسيم) .
*** الاستعارة ****

& الاستعارة : تشبيه بليغ حذف أحد طرفيه .
نفهم من الكلام السابق أن التشبيه لابد فيه من ذكر الطرفين الأساسين وهما (المشبه والمشبه به) فإذا حذف أحد الركنين لا يعد تشبيهاً بل يصبح استعارة .
لاحظ الفرق بين : محمد أسد - رأيت أسداً يتكلم - محمد يزأر وهو يفترس الأعداء .
& أنـواع الاستعـارة :
(أ) استعارة تصريحية : وهى التي حُذِفَ فيها المشبه(الركن الأول) وصرح بالمشبه به .
&مثل : نسي الطين ساعة أنه طين .. شبه الشاعر الإنسان بالطين ثم حذف المشبه (الإنسان)وذكر المشبه به (الطين)على سبيل الاستعارة التصريحية .
&مثل قوله تعالى الله وليُّ الذين آمنوا يخرجهم من الظلمات إلى النور ) .. شبه الكفر بالظلمات والإيمان بالنور ثم حذف المشبه (الكفر والإيمان) وذكر المشبه به
(الظلمات والنور)على سبيل الاستعارة التصريحية .
& ( في قلوبهم مرض ) ، ( واعتصموا بحبل الله ) .. بين الاستعارة بنفسك .
(ب) - استعارة مكنية : وهى التي حُذِفَ فيها المشبه به(الركن الثاني) وبقيت صفة من صفاته ترمز إليه .
&مثل : حدثني التاريخ عن أمجاد أمتي فشعرت بالفخر والاعتزاز .
المحذوف المشبه به ، فالأصل : التاريخ يتحدث كالإنسان ، ولكن الإنسان لم يذكر وإنما ذكر في الكلام ما يدل عليه وهو قوله : حدثني (فالدليل على أنها استعارة : أن التاريخ لا يتكلم).
&ومثل ماسبق : طار الخبر في المدينة .. استعارة مكنية فلقد صورنا الخبر بطائر يطير ، وحذفنا الطائر وأتينا بصفة من صفاته (طار) ، (فالدليل على أنها استعارة : أن الخبر لا يطير). .
&يهجم علينا الدهر بجيش من أيامه ولياليه - وتبنى المجد يا عمر بن ليلى - صحب الناس قبلنا ذا الزمانا- شاكٍ إلى البحر .. بين الاستعارة بنفسك .
(جـ) – الاستعارة التمثيلية : أصلها تشبيه تمثيلي حُذِفَ منه المشبه وهو (الحالة والهيئة الحاضرة) وصرح بالمشبه به وهو (الحالة والهيئة السابقة) مع المحافظة على كلماتها وشكلها وتكثر غالباً في الأمثال عندما تشبه الموقف الجديد بالموقف الذي قيلت فيه .
&مثل : لكل جواد كبوة - رجع بخفي حنين - سبق السيف العذل - فمن يزرعِ الشوك يجنِ الجراح .
& سر جمال الاستعارة : (التوضيح أو التشخيص أو التجسيم ) .

الكناية
&هي تعبير لا يقصد منه المعنى الحقيقي ، و إنما يقصد به معنى ملازم للمعنى الحقيقي .
& أو هي : تعبير استعمل في غير معناه الأصلي(الخيالي) الذي وضع له مع جواز إرادة المعنى الأصلي (الحقيقي) .
.. لتوضيح الكلام السابق بمثال يقول (أبي نظيف اليد) من الواضح أن المعنى الحقيقي هنا ليس مقصوداً وهو معنى غسل اليد و نظافتها من الأقذار ، وإنما يقصد المعنى الخيالي الملازم لذكر هذه العبارة الذي يتولد ويظهر في ذهننا من: (العفة أو الأمانة، أو النزاهة أو الترفع أو نقاء الضمير..) وما شابه ذلك من المعاني المجردة حسب سياق الحديث ، وهذه هي الكناية معنى ملازم للمعنى الحقيقي.
&مثال:قال تعالى (وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ)(الفرقان: من الآية27) .
لو تأملنا الآية السابقة نجد أن المقصود من هذه الآية ليس المعنى الحقيقي وهو عضاليدين، وإنما يقصد المعنى الخيالي الملازم لذكر هذه الآية الذي يتوّلد ويظهر في ذهننا من: (الندم الشديد) حيث إن من ظلم نفسه بكفره بالله ورسوله ولم يستجب لدعوة الإيمان يرى مصيره المرعب يوم القيامة ألا وهو النار فيندم على ما كان منه في الحياة في وقت لا ينفع يه الندم ، فيعض على يديه .
& أنواع الكناية :
1كناية عن صفة :
وهى التي يكنى بالتركيب فيها عن صفة لازمة لمعناه (كالكرم – العزة – القوة – الكثرة ...)
&مثال : قال تعالى (وَلا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ)
كناية عن صفة البخل كناية عن صفة التبذير
&فلان ألقى سلاحه (كناية عن الاستسلام) .
&فلان نقي الثوب ( كناية عن النزاهة والطهارة ) .
2كناية عن موصوف : وهى التي يكنى بالتركيب فيها عن ذات أو موصوف (العرب – اللغة – السفينة) وهى تفهم من العمل أو الصفة أو اللقب الذي انفرد به الموصوف .
&مثال :(فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ وَلا تَكُنْ كَصَاحِبِ الْحُوتِ ) كناية عن سيدنايونس .
&قال الشاعر : يا ابنة اليم ما أبوك بخيل كناية عن السفينة .
3كناية عن نسبة : وهى التي يصرح فيها بالصفة ولكنها تنسب إلى شئ متصل بالموصوف (كنسبته إلى الفصاحة البلاغة الخير) حيث نأتي فيها بصفة لا تنسب إلى الموصوف مباشرة بل تنسب إلى شيء متصل به ويعود عليه .
&مثال : قال الشاعر : أبو نواس في مدح والي مصر :
فما جازه جود ولا حل دونه ولكن يسير الجود حيث يسير
فقد نسب الجود إلى شيء متصل بالممدوح وهو المكان الذي يوجد فيه ذلك الممدوح
&مثال : الفصاحة في بيانه والبلاغة في لسانه
كناية عن نسبة هذا الشخص إلى الفصاحة ؛لأنها في بيانه وإلى البلاغة ؛ لأنها في لسانه .
&مثال : ( الفضل يسير حيث سار فلان ) كناية عن نسبة الفضل إليه.
&سر جمال الكناية :
الإتيان بالمعنى مصحوبا بالدليل عليه في إيجاز وتجسيم.
س : كيف أفرق بين الكناية والاستعارة ؟
جـ : الفرق أن في الاستعارة هناك قرينة تمنع وجود المعنى الحقيقي، فحين أقول: رأيت أسداً يحكي بطولاته ، فـ( أسد ) هنا استعارة، والقرينة (يحكي) وهذه القرينة مانعة لإرادة المعنى الحقيقي ، فلا يوجد أسد يحكي أو يتكلم ، بينما في الكناية لا توجد قرينة تمنع وجود المعنى الحقيقي، فحين أقول : (عتريس يده طويلة) فيجوز إرادة المعنىالحقيقي وهو طول اليد ، كما يجوز إرادة المعنىالخيالي الذي يختفي خلف المعنى الحقيقي و هو أنه لص .


المجاز المرسل

& هو اللفظ المستعمل في غير ما وضع له لعلاقة غير المشابهة ، ويجب أن تكون هناك قرينة تمنع المعنى الأصلي للفظ .
&أو هو كلمة لها معنى أصلي لكنها تستعمل في معنى آخر على أن يوجد علاقة بين المعنيين دون أن تكون علاقة مشابهة ، وتعرف تلك العلاقة من المعنى الجديد المستخدمة فيه الكلمة .
& مثال لذلك : " قبضنا على عين من عيون الأعداء" فلفظ "عين " هنا ليس المقصود منها العين الحقيقية وإنما المقصود منها الجاسوس ، و القرينة التي تمنع المعنى الأصلي للفظ هنا أنه لا يمكن القبض على العين فقط دون بقية جسد الجاسوس !
س : لماذا سمي المجاز بالمجاز المرسل ؟
جـ : سمي المجاز بالمجاز المرسل ؛ لأنه غير مقيد بعلاقة واحدة ، كما هو الحال في الاستعارة المقيدة بعلاقة المشابهة فقط ، ولأن علاقاته كثيرة .
& وعلاقات المجاز المرسل كثيرة أهمها:
1 - الجزئية : عندما نعبر بالجزء ونريد الكل .
& قال تعالى: (فتحرير رقبة مؤمنة) فكلمة (رقبة ) مجاز مرسل علاقته الجزئية ؛ لأنه عبر بالجزء (الرقبة)وأراد الكل (الإنسان المؤمن) .
& قال الرسول صلى الله عليه وسلم : ( أصدق كلمةٍ قالها شاعر كلمة لبيد : ألا كُلُّ شيءٍ ما خلا الله باطلُ ) فــ ( كلمة) مجاز مرسل علاقته الجزئية ؛ لأنه عبر بالجزء (كلمة)
وأراد الكل (الكلام) .
2 – الكلية : عندما نعبر بالكل ونريد الجزء .
& قال تعالى: (يجعلون أصابعهم في آذانهم) فــ ( أصابعهم) مجاز مرسل علاقته الكلية ؛ لأنه عبر بالكل (أصابعهم)وأراد الجزء (أناملهم أي أطراف أصابعهم) .
& شربتُ ماء زمزم . فــ ( ماء زمزم) مجاز مرسل علاقته الكلية ؛ لأنه عبر بالكل (ماء زمزم)وأراد الجزء (زجاجة ماء مثلاً) .
3 – المحلّية : عندما نعبر بلفظ المحل ونريد الموجود فيه
& قال الشاعر : بلادي وإن جارت عليّ عزيزة وقومي وإن ضنوا عليّ كراما
فــ ( بلادي) مجاز مرسل علاقته المحلّية ؛ لأنه ذكر البلاد وأراد أهلها فالعلاقة المحلية .
& قال تعالى: (واسأل القرية) فــ ( القرية) مجاز مرسل علاقته المحلّية ؛ لأنه ذكر القرية وأراد أهلها الذين محلهم ومكانهم القرية ، فالعلاقة المحلية .
4 – الحاليّة : عندما نعبر بلفظ الحال ونريد المكان نفسه.
&مثل : (إِنَّ الْأبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ) فقد استعمل (نعيم) وهو دال على حالهم، وأراد محل ومكان النعيم وهو الجنة.
& نزلتُ بالقوم فأكرموني .المجاز المرسل في كلمة القوم ؛ لأن القوم لا يُنزل بهم ، وإنما يُنزل في المكان الذي يسكنه القوم ، فذكر الحال وهو (قوم) وأراد المحل وهو المكان .
5 – السببية :
وهي تسمية الشيء باسم سببه ، أو عندما نعبر بالسبب عن المسبَّب.
&(رعت الماشية الغيث) المجاز في كلمة : الغيث ، فهي في غير معناها الأصلي ؛ لأن الغيث لا يرعى ، وإنما الذي يرعى النبات. حيث أن الغيث سبب للنبات فعُبِّر
بالسبب عن المسبَّب .
6 – المسبَّبِيّة : وهي تسمية الشيء باسم ما تسبب عنه.
&قال تعالى : ( هُوَ الَّذِي يُرِيكُمْ آيَاتِهِ وَيُنَزِّلُ لَكُم مِّنَ السَّمَاء رِزْقًا ..) المجاز في كلمة : رزقًا ، فهي في غير معناها الأصلي ؛ لأن الذي ينزل من السماء المطر وليس الرزق، وعبر بالرزق عن المطر؛ لأن الأول (الرزق)متسبب عن الثاني(المطر) .
7 - اعتبار ما كان : بأن يستعمل اللفظ الذي وضع للماضي في الحال
&قال تعالى : ( وآتوا اليتامى أموالهم ..) المجاز في كلمة : اليتامى ، فهي في غير معناها الأصلي ؛ لأن اليتيم وهو : من فقد والده قبل الرشد لا يأخذ ماله ، وإنما يأخذ المال عندما يتجاوز سن اليُتْم ويبلغ سن الرشد ، فاستعملت كلمة يتامى وأريد بها الذين كانوا يتامى ، بالنظر إلى حالتهم السابقة .
8 - اعتبار ما سيكون : بأن يستعمل اللفظ الذي وضع للمستقبل في الحال .
& قال تعالى : ( إنَّكَ ميتٌ وإنهم ميتون ) المجاز في كلمة : ميتٌ ، فهي في غير معناها الأصلي ؛ لأن المخاطب بهذا هو النبي - صلى الله عليه وسلم - وقد خوطب بلفظ (ميت) وهو لا يزال حيًا بالنظر إلى ما سيصير إليه أي باعتبار ما سيكون.
& قال تعالى: (إنّي أراني أعصر خمراً) أي عصيراً سيتحول إلى الخمر، إذ هو حال العصر لا يكون خمراً .
& سر جمال المجاز :
الإيجاز و الدقة في اختيار العلاقة مع المبالغة المقبولة .

law

kp

mboah ah

Template by:

Free Blog Templates